Sabtu, 11 Mei 2013

KOLEKTOR MENJADI KURATOR



hendrotan, Pemilik Galeri (28/4’13)           

Menanggapi pameran di Uma Seni Jkt yang akan datang ...
Waktu itu (setelah ramai2 makan bebek sinjae di Madura tgl 20/4) .. saya menanyakan pada Mas Entang dan Fendry sbb. Apakah kolektor yang mengkurasi sebuah pameran perlu menjawab tiga pertanyaan ini ..

(1). Pertimbangan motif dan tujuan yang menggerakkan mereka untuk mengkurasi ?
(2). Praktik dan paradigmatik kuratorial macam apa yang mereka amalkan dalam
       pameran itu ?
(3). Dalam konteks infrastruktur, apakah fungsi baru mereka tidak menabrak rambu ?

Semua pertanyaan belum sempat dijawab, keburu kita turun dirumah Sarung Batik Bangkalan Madura, karena itu, diharap tanggapan Anda sekalian, salam hendrotan.***


Amrizal Salayan,  Perupa, Pengamat Seni dan Dosen ITB (28/4’13)

B-) (y) ... Ketika arogansi telah melabrak etika profesi, maka serta merta lenyap lah yang namanya profesionalism..(Amrizal Salayan).***


Warih Wisatsana, Budayawan dan Pimpinan Bentara Budaya Bali (28/4’13)

Tiga pertanyaan mendasar. Patut diajukan pada siapa saja yg berani memosisikan diri sebagai kurator atau penggagas peristiwa seni.***


Jerry Thung, Perupa  (28/4’13)

Apakah mungkin fungsi pengacara, jaksa, hakim dibolak balik, dirangkap2 ? Institusi seni di Indo sdh bangkrut kacau balau.***


Sanjaya Chandra, Kolektor  (28/4’13)

Menanggapi sms diatas yg menggelitik dr bpk. Hendrotan, saya pribadi yg memposisikan sbg subyek pecinta seni, melakukan predikat ”mempercayai (mutu)” terhdp obyek sebuah pameran yg diselenggarakan dg tatanan yg ”normatif”. Sekian dan terima kasih. Best Regards, Sanjaya Chandra.***


Rifky Effendy (Goro), Kurator (28/4’13)

Halo siang pak. Saya kira itu hanya menanggapi persoalan situasi market saja. Tentunya tdk bs dianggap penting. Mereka bs saja dianggap mengkurasi tp sbg suatu pencarian peran mereka dalam peta produksi makna seni.***


Rifky Effendy (Goro), Kurator (28/4’13)

Sebagai suatu sindrom menarik saat ini.***


Mikke Susanto, Dosen dan Kurator (28/4’13)

Kurator adlh pekerjaan yg ‘cair’. Dlm konteks SR Kontemporer siapapun berhak mjd kurator. Selama mampu  & brtanggung jawab mlaksanakan: 1. Curatorial proses, 2. Comparative analysis, 3. Interpretation & 4. Analisis cultural context. Diluar itu paham atas manajemen kurator. Jd tdk ada istilah menabrak tabu dlm dunia kurator. Yg dibutuhkan publik adlh hasil kurasi yg dalam n kecerdasan ide. Kira2 gitu pak Hendro. Sbaiknya mmg perlu ada diskusi lbih lanjut.***


Kun Adnyana Denpasar, Perupa (28/4’13)              
                                     
Selamat siang Pak, menurut sy pertanyaan ini sgt relevan, krn bagaimana pun kurator bekerja ”menyemai” kepentingan publik seni rupa,,,,bukan permainan dlm ruang hampa,,,salam.***


Djuli Djati Prambudi, Dosen (28/4’13)     
                                                                                                  
Pak Hendro. Inilah menariknya SRI. Bukan makin memperkuat infrastruktur sr dg professional dan proporsional, tapi justru makin mengacaukan dg bersikap transfungsional macam itu. Tentu, ke dpn situasi macam itu akan mkn ditertawakan org semacam Lorenzo Rudolf…eh ternyta SRI memang layak diekspansi, karena infrastrukturnya makin rapuh.***


Wiyu Wahono, Kolektor (28/4’13)  
                                                                                                   
Bahwa seorang kolektor mengkurasi satu pameran bukanlah sesuatu hal yang baru. Salah satu contoh adalah kolektor Florida Rubell yang sejak lama melakukan hal yang sama. Aktivitas ini juga tidak bisa dibilang sebagai menabrak rambu, karena saya sadar bahwa saya BUKAN kurator dan juga tidak bermaksud menjadi kurator dalam pameran ini. Saya hanya ingin menulis secara sistematis poin-pon yang menarik saat “membaca” satu karya fotografi kontemporer. Tujuannya ada sharing  pengetahuan dengan kolektor-kolektor yang tertarik ingin mengoleksi karya fotografi kontemporer, mengingat fotografi belum mendapatkan apresiasi yang setara dengan karya seni lukis. Jika seorang gallerist juga berkoleksi dan menjadi seniman dan mengkurasi pameran apakah dia menabrak rambu? Seperti yang kita semua ketahui, ‘hampir’ semua kurator di Indonesia tidak mempunyai pendidikan sekolah tinggi sebagai kurator. Dengan ketekunan masing-masing mereka berhasil menjadi kurator yang baik. Beberapa masih belum baik, beberapa tidak kunjung menjadi baik. Praktek dan paradigma macam apa yang digunakan oleh para lulusan seni rupa ini saat mereka mengkurasi satu pameran seni? Apakah seniman yang menjadi kurator ini juga menabrak rambu? <wiyu wahono>.***


Djuli Djati Prambudi, Dosen (28/4’13)

Fakta yg diungkapkan wiyu sy setuju. Tapi, apakah dg fakta itu lantas dijadikan pembenaran adanya gejala transposisi/transfungsional dlm upaya membangun medan seni yg baik ? sy kira kalau hal itu dibenarkan, SRI akan mkn tdk jelas wacana dan praktiknya. Gejala anomaly seperti yg diperlihatkan pemilik galeri atau kolektor yg merangkap kurator tdk bisa diadikan model untuk membaca perkembangan medan seni. Wiyu mungkin harus tahu lebih mendalam konsep dan proses pendidikan di perguruan tinggi seni Indonesia yg tdk sepenuhnya mengadopsi system seperti di barat. PT seni indon punya arah orientasi sendiri.***


Wiyu Wahono, Kolektor (28/4’13)                                            

Pak Dosen dan Pengamat Seni tersebut membaca/menganalisa infrastruktur seni rupa di Barat (atau negara Asia yang mengcopy model Barat) dan menganggap bahwa SRI harus mempunyai infrastruktur yang berbasis sama. Jika terjadi transposisi/transfungsi, maka SRI akan kacau dan tidak bisa maju. Pendapat tunggal ini sebaiknya dikaji ulang, sebab banyak negara tanpa infrastruktur yang memadai (ala Barat) berhasil maju. Pendapat tunggal tersebut disamping konservatif, juga tidak mencerminkan kreativitas dalam berpikir. Di abad 21 ini banyak kaum intelektual melihat perkembangan ‘organik’ dari satu system mampu memberikan terobosan-terobosan hebat di dunia. Peran teknologi informasi sangat berperan dalam hal ini. Jadi, wiyu tidak melihat ke Barat. Mungkin Pak Dosen yang dibawah sadar melihat ke Barat? <wiyu wahono>.***


Djuli Djati Prambudi, Dosen (28/4’13)                                           

Hehe…Pak Wiyu rupa rupanya senang berakrobat. Justru kami dari PT memahami medan seni itu tak tunggal, dan tak konservatif. Dia dinamis seirama dg perubahan masyarakat. Sr kontemporer memang tak sepenuhnya memerlukan medan seni seperti dlm sr modern (barat). Tetapi sr kontemporer tetap memformulasikan standar. Tanpa standar sy kira perkembangan seni akan terjerumus pd aesthetic chaos. Implikasinya lebih jauh akan msk pd perangkap jejaring kapitalisme lanjut dlm global hal2 ekstrinsik ketimbang intrinsik. Slam hangat untuk P Wiyu.***


Wiyu Wahono, Kolektor  (28/4’13)

Kita semua masih dalam proses mencari apa yang Pak Dosen sebut sebagai standar. Bagaimana standar yang baik, tidak ada yang tahu. Oleh karena itu lah, jika ada sesuatu yang ’lain’ dari biasanya, kita semua jangan langsung berpikiran negatif. (pembaca blog  bisa menganalisa siapa yang berakrobat. Tapi, urusan akrobat tidak penting sama sekali).***


Djuli Djati Prambudi, Dosen (29/4’13)

Mengutif pendapat sejarawan Han Belting, setiap sejarah/zaman selalu merumuskan standar (seni) masing2. Hal Foster malah bilang, standar itu semacam paradigma atau kesepakatan dlm medan seni yg kental dg politik kls elite. Bourdeau menambahkan sesungguhnya  tdk ada standar dlm seni, yg ada hanyalah perang tanda untuk mengkonstruksi selera klas tertentu. Barat sendiri sesungguhnya ‘plinplan’ dg sejarahnya sendiri. Daniel Bell sendiri mengatakan modernisme telah runtuh. Masalahnya skrg, apakah sr modern/kontempr kita berada dlm perkembangan linier seperti di barat? Jika tdk, bgn standar bisa diperdebatkan? …. Hehe, Jadi serius gini. Sy senang dg pikiran P Wiyu. Sy akan rencanakan undang dia di  forum seminar, biar pikiran2nya dpt dipahami konstruksinya secara benar. Merdeka!.***


Wiyu Wahono, Kolektor   (29/4’13)

Dear Temans,
THIS WEEK ART ACTIVITIES
. . .
. . . .
. . . . .

Terlepas dari pro dan kontra beberapa pihak terhadap peran kolektor yang mengkurasi pameran, pembukaan pameran di Galeri Umahseni dikunjungi oleh 300an pecinta seni dan penjualan juga sangat sukses. <wiyu bb pin 2634919C>.***

hendrotan, Pemilik Galeri (29/4’13)                         

Wiyu, saya senang pameran umaseni 24 April yg dikurasi tiga kolektor berhasil menyerap ratusan pengunjung. Dan salenya Sukses. Saya sebagai galeri tidak dalam posisi pro dan kontra, HANYA menanyakan inti GAGASAN pada perilaku tsb. Kalo ada dalih pembenarannya dan bisa diyakini sebagai rasionalitas dan nalar, MAKA AKAN SANGAT BAGUS SEBAGAI PEMBELAJARAN MASYARAKAT SRI. Dan (tentu) galeri saya dan galeri lain akan meniru – niru .. rgds hendrotan.***


Nurdin dan Metha Sekawan, perupa (29/4’13)                              

Pak Hendrotan, kolektor sok pintar itu mungkin merasa dirinya paling tahu, berhasrat menjadi kurator segala, bagaimana kurator yang kehidupan keluarganya dari hasil mengurasi ? infrastruktur seni rupa Indonesia sudah dirusak oleh XXX, masih belum cukupkah ?  mereka yang membuat onar selalu etnis pak Hendrotan, meski kami tahu yang baik dan berjasa seperti Bapak jauh lebih banyak, maafkan Pak, kami jadi muak dengan ketiga kolektor macam itu, KAYA BERTINGKAH !

Salam Nurdin dan Metha sekawan.***
  

Gunawan Haryanto,  media cetak & online C-ART Mag. (30/4’13)

Menurut saya, sekarang ini seolah apapun boleh saja dilakukan. Namun hal tsb menunjukkan kelemahan kurator di tanah air yang notabene hanya jadi tentara bayaran--seolah hanya sesuai pesanan galeri atau penyelenggara pameran. Dan lebih parah lagi entry barrier untuk menjadi kurator hampir hampir tidak ada. Walaupun tidak semua kurator seperti diatas, masih ada yang punya kualitas akademis dengan sikapnya yang idealis. Namun kebanyakan justru moral dan integritas terasa masih kurang. 

Jadi kalau kolektor mencoba menjadi kurator. Sah sah saja. Walaupun saya tidak sempat melihat hasil kerja mereka. Saya yakin hasil nya cukup bagus. Terlihat dari reaksi pemilik galeri yang senang setelah pameran usai, karena trik dagangnya berhasil.

Demikian tanggapan saya pak Hendro Tan yg baik.
Terima kasih.***


Argus FS, Pengamat Seni (4/4’13)

KURATOR ATAU ART DEALER ATAU ART JOCKEY ?
Oleh Argus FS

Saya masih ingat betul pada akhir tahun 90-an di Bandung seni rupa itu seperti permainan produksi bahasa visual yang dikerjakan oleh perupa yang mengatasnamakan dirinya seniman. Sementara predikat seniman yang saya tahu itu tidak sekedar produsen bahasa visual di atas kanvas atau di atas benda-benda yang dianggap dapat memiliki nilai seni.

Pada tahun 2000-an yang aneh-aneh dan massal dari para perupa yang ngaku seniman itu semakin massive di beberapa kota di Jawa dan Bali dan menjadi ekslusif karena sejumlah pihak yang mencuci uangnya di Indonesia itu diserap uangnya oleh para perupa yang seolah-olah atau tiba-tiba jadi seniman itu dan menjadi sumringah karena coretan tangannya bisa laku terjual. Maka para penulis yang bekerja “menggawatkan” benda seni atau kerajinan menjadi karya seni di dalam tulisan-tulisan puitisnya bermunculan seolah-olah kurator. Fenomena ini terjadi di Bali.

Saya masih ingat betul buku-buku derivate dari perkembangan filsafat yang paling mutakhir dijadikan referensi oleh para penulis yang seolah-olah kurator itu. Yang terjadi adalah bahwa catatan kurasi atau pengantar pameran itu seperti mesin pembungkus benda yang dianggap memiliki nilai estetika, pokoknya kontemporer. Maka kemudian, konsensus yang dianggap ada untuk menduduki posisi seornag kurator adalah keahlian “menggawatkan” lukisan, patung, objek, video, foto, instalasi seni, dan lain-lainnya – bahkan drawing studyanatomi dikatakan sebagai lukisan loh.

Saking massive dan serba cepat pertumbuhan nilai ekonomi di seni rupa yang disebut-sebut karya seni rupa yang ada kaitannya dengan konteks kekinian itu serta didukung oleh percepatan nilai kapital saat itu, tidak sedikit karya para perupa yang jadi seniman itu lolos sebagai karya seni rupa kontemporer dengan beragam referensi visual yang sudah ada dalam sejarah seni rupa modern. Modifikasi konteks. Pada fase itu saya sempat bertanya apakah posisi kurator yang disyaratkan memiliki pengetahuan sejarah seni rupa itu boleh membohongi public dengan tidak menjelaskan kepada apresiator bahwa karya semacam itu sudah ada dalam sejarah seni rupa dari periode Abstract Expressionist hingga Pop Art di Amerika yang dikuatkan dengan koleksi MoMA di New York? Ternyata, informasi itu dibungkam demi kelangsungan pasar seni rupa kontemporer Indonesia. Maka dari fenomena itu dapat saya simpulkan bahwa kurator-kurator yang melayani galeri-galeri komersil itu tidak lebih dari sekadar art jockey.

Alih-alih temporary collector yang menjadi art dealer juga terjun sebagai kurator pameran dengan tujuan sensasi pameran. Fenomena itu muncul disebabkan oleh praktik kuratorial di era seni rupa kontemporer itu yang mentolerir bahwa kurator itu berkerja dengan cara memilih, menulis ‘kegawatan’ yang dianggap karya seni dan memindahkan benda seni itu dari studio atau gudang penyimpanan ke ruang pajang dengan dinding putih serta pengundang temporary collector di pameran sejenis. Belum lagi pemahaman perupa yang menjadi seolah-olah seniman itu menganggap kurator itu fungsinya menjualkan benda seni yang dianggap karya seni untuk diperdagangkan di pameran.

Lucu dengan sensasinya sekaligus miris mengamati seni rupa kontemporer di Indonesia. Sementara profesi kurator yang saya pahami dan saya lakoni tidak semudah membungkus lukisan, patung/objek, cetakan foto atau apapun dianggap memiliki nilai estetika yang sudah jadi terus dipamerkan agar laku terjual. Yang lebih miris adalah mereka yang menjadi temporary collector seolah-olah menentukan harga karya seni berikut minim pengamatan praksis dari para perupa atau seniman setelah terbiasa mengonsumsi karya seni di pameran saja dan kemudian merasa pantas menjadi kurator. Saya fikir untuk model-model pameran yang minim konten edukasi seni rupa lebih baik tidak menggunakan kurator di dalamnya bila hanya memilih benda seni yang dianggap estetis dan tujuan komersialisasi melulu.***


Imam Muhtarom, Kurator (5/5’13)

KOLEKTOR YANG KURATOR

Persoalan infrastruktur seni rupa Indonesia, lebih rumit daripada yang dibayangkan. Bukan hanya masalah pendidikan seni, museum, pasar, tetapi juga masalah peran sosial mereka yang terlibat dalam dunia seni rupa itu sendiri. Secara sosial dalam dunia seni rupa ada 7 peran inti: kurator, pemilik galeri, seniman, kolektor, art dealer, kritikus, media. Peran tersebut dalam medan sosial seni rupa memiliki fungsi dan tugasnya masing-masing. Apabila ada perbedaan antara peran dan fungsi serta tugasnya, maka dapat disebut anomali terhadap sistem yang berjalan. Misalkan, orang yang dikenal sebagai kolektor tiba-tiba berperan sebagai kurator. Secara sosial akan berdampak pada berjalannya infrastruktur seni rupa yang ada. Dampak seriusnya, selera kolektor alih-alih kurator mendikte seniman. Padahal, yang ditunggu dari seorang seniman adalah ekspresi yang mengungkapkan jiwa individunya yang memantulkan jiwa zamannya.***


Rain Rosidi, Dosen ISI  (4/5’13)

Posisi kurator dlm sebuah pameran bisa dikerjakan oleh siapa saja. Hanya saja kcurator bertanggung jawab thd produksi pengetahuan dr pameran itu.

Oleh krn itu kolektor yg menjadi kurator sebuah pamran bisa dilakukan asal kolektor itu bisa memberikan tawaran pengetahuan yg menjadi concernnya.

Saya kira mereka harus menjelaskan motif mrk. Mengenai menabrak rambu, sebaiknya kurasi itu ditempatkan pd posisi, apakah sekadar memajang karya atau punya tawaran lain sbg pengetahuan bersama.***


Hendro Wiyanto, Kurator  (5/5’13)

Curator = curare = to take care of.
Curator adalah the author, mutu pekerjaan mrka yg menobatkan the author, tdk lembaga manapun. Jd tiap orang bs aja menjd the author krn mutu authorsip-nya.:-).***


Agus Dermawan T., Kritikus Seni (5/5'13)                                 

Soal siapa jadi kurator, terletak pada kapasitasnya. Kolektor yg punya sensibilitas estetik n artistik, pengetahuan seni, tata kelola pmrn seni, boleh jadi kurator. Di TIM dulu ada Dalimin, tukang gantung luksn. Krn pnglaman, ia jadi kurator. Nashar, Rusli, Btr Lubis, Mhtr Lubis sangat percaya sama dia sbg Kurator. Salam, adt.***


Wahyudin, Kurator  (5/5’13)

Menerabas Batas (Respon untuk Wiyu Wahono)

Respons kolektor Wiyu Wahono atas tiga pertanyaan hendrotan, pemilik Emmitan Contemporary Art Gallery, Surabaya, perihal kolektor yang mengurasi pameran seni rupa, hemat saya, perlu direspons kembali secara saksama.

Keperluan itu berguna bukan hanya untuk berbagi pengetahuan, melainkan juga untuk tanggungjawab profesional seturut nalar kritis dan nilai eksistensial dari peran dan status atau kredibilitas dan integritas seseorang, sekelompok orang, atau siapa saja yang mengada dan memiliki hormat kepada seni rupa Indonesia.

Atas keperluan itu, pada prinsipnya, saya bisa memahami pertimbangan yang menggerakkan Wiyu untuk mengurasi pameran bertajuk “Beyond Boundaries: When a Colletor Curates a Show” di Umahseni, Jakarta, 25 April-25 Mei 2013. Katanya, “seorang kolektor mengkurasi satu pameran bukanlah sesuatu hal yang baru. Salah satu contoh adalah kolektor Florida Rubell yang sejak lama melakukan hal yang sama.”

Ternyata, pernyataan itu sekadar alibi referensial yang mencadari motif sesungguhnya dalam mengurasi pameran tersebut. Dari seorang perupa yang hadir di sana, saya beroleh keterangan bahwa pada diskusi sore menjelang pembukaan, Leo Silitonga, pemilik Umahseni, mengemukakan bahwa penyelenggaraan pameran itu dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan kolektor atas praktik kuratorial yang dilakukan oleh kurator-kurator di Indonesia selama ini.

Dengan keterangan itu, juga mencermati nalar dari judul pameran itu, saya pun mafhum bahwa Wiyu hanya berdalih dengan kata-katanya ini: “Aktivitas ini juga tidak bisa dibilang sebagai menabrak rambu, karena sadar bahwa saya bukan kurator dan juga tidak bermaksud menjadi kurator dalam pameran ini.”

Kita lihat, lebih dari sekadar dalih, rupanya pernyataan itu pun menyuratkan “contradictio in terminis” dalam cara berpikirnya. Betapa tidak, secara retoris kita bisa mengatakan bahwa kolektor yang mengurasi pameran seni rupa serupa dengan apa yang tersebut dalam pepatah Latin “Asinus ad lyram” (Keledai mendekati harpa). Atau dalam amsal orang Jawa menyebutnya “Ora ndelok githoke” (Tidak melihat punggungnya sendiri). Tafsirnya kurang-lebih adalah orang yang melakukan perbuatan, menjalankan aktivitas, memegang jabatan, atau memerankan lakon tertentu tanpa integritas apa-apa—alih-alih sengaja mengabaikannya demi agenda-agenda tersembunyi.

Dengan begitu, kita bisa memastikan bahwa kolektor yang mengurasi pameran seni rupa adalah orang yang menabrak rambu-rambu infrastruktur seni rupa. Apa pun motif dan tujuannya, tindakannya itu telah melampaui atau menerabas batas-batas perannya sebagai kolektor. Apalagi, mengingat kenyataan infrastruktur seni rupa di Indonesia yang masih serba centang-perenang, perbuatannya itu tak ubahnya mengajar itik berenang di kolam yang butek.

Niat dan tujuannya mungkin baik—seperti tulis Wiyu: “Saya hanya ingin menulis secara sistematis poin-poin yang menarik saat ‘membaca’ satu karya fotografi kontemporer. Tujuannya adalah sharing pengetahuan dengan kolektor-kolektor yang tertarik ingin mengoleksi karya fotografi kontemporer, mengingat fotografi belum mendapatkan apresiasi yang setara dengan karya seni lukis.”

Dengan niat dan tujuan itu, seturu nalar kritis, pameran itu seharusnya merupakan kerja kolaborasi antara perupa dan kolektor—di mana kolektor bertindak sebagai perisalah karya-karya perupa dalam tulisan semenjana.

Alih-alih, pameran itu memang sengaja digelar Wiyu dan kawan-kawan sebagai panggung proklamasi untuk menerabas batas peran mereka sebagai kolektor yang mendaku dapat mengurasi perhelatan seni rupa dengan motif yang terkesan ponga seperti telah saya sebutkan sebelumnya.

Tapi, setelah membaca dengan saksama tulisan-tulisan mereka dalam katalog, hemat saya, penerabasan itu tak lebih dari perbuatan manasuka nan lancung—yang justru membuka peluang besar bagi kita untuk mempertanyakan dengan serius kredibilitas mereka sebagai kolektor.

Jauh panggang dari api. Tulisan Wiyu, misalnya, adalah sejenis demonstrasi singkat pengetahuan ringkas tentang fotografi yang sama sekali tak meyakinkan sebagai pengantar ke dalam proses kreatif fotografer Agan Harahap. Dengan kata lain, membaca tulisannya berbahasa Inggris itu, kita tak akan mendapatkan pemahaman yang memadai tentang bentuk, teknik, dan gagasan karya-karya fotografi Agan yang diusung dalam pameran itu.

Bagaimana tak, tulisannya yang tersusun dari 11 paragraf itu, cuma 1 paragraf—itu pun paragraf terakhir yang amat sigkat sehingga dapat dibaca hanya dalam sesruputan kopi—yang menyinggung karya-karya Agan. Sisanya, 10 paragraf sebelumnya, merupakan paparan semenjana ihwal dinamika fotografi dan kesulitannya dalam memperoleh tempat yang apresiatif di dunia seni rupa. Paparan semacam ini, bahkan bagi seorang pembaca awam sekalipun, cakupannya sebatas oplosan pengetahuan yang tak berdampak pemahaman akan realitas fotografi di Indonesia.

Dengan mutu tulisan seperti itu, bisa dipastikan bahwa Wiyu adalah seorang kolektor yang “buta aksara” akan praktik kurasi seni rupa. Ia tak paham bagaimana menulis pengantar kuratorial sebagai pertanggungjawaban kerja mengurasi suatu pameran. 

Jika tak—tentulah bakal dengan mudah menjawab pertanyaan hendrotan ini: “Praktik dan paradigma kuratorial macam apa yang ia dkk amalkan dalam pameran itu?”

Kenyataannya, ia malah menjawab pertanyaan itu dengan pernyataan dan pertanyaan berikut: “Seperti yang kita semua ketahui, ‘hampir’ semua kurator di Indonesia tidak mempunyai pendidikan sekolah tinggi sebagai kurator. Dengan ketekunan masing-masing mereka berhasil menjadi kurator yang baik. Beberapa masih belum baik, beberapa tidak kunjung  menjadi baik. Praktek dan paradigma macam apa yang digunakan oleh para lulusan seni rupa ini saat mereka mengkurasi satu pameran seni?”

Pertanyaan dibalas pertanyaan pun ditunjukkannya untuk pertanyaan hendrotan yang satu ini: Dalam konteks infrastruktur, apakah fungsi baru mereka (kolektor yang mengurasi pameran—Red.) tidak menabrak rambu?”

Alih-alih menjawabnya, Wiyu balik melontarkan pertanyaan: “Jika seorang gallerist juga berkoleksi dan menjadi seniman dan mengkurasi pameran apakah dia menabrak rambu?”

Lazimnya, pertanyaan dijawab pertanyaan merupakan amalan orang-orang yang gemar bersilat lidah lantaran terdesak oleh ketidakmampuannya bertukar pikiran dengan argumentasi-argumentasi yang bernas. Celakanya, amalan itu kerap menutup kesempatan kita untuk mendapatkan pandangan yang bermanfaat meningkatkan pemahaman dari fakta yang mengandung informasi tentang sesuatu.

Silat lidah Wiyu itu, harus diakui, mengungkapkan fakta tentang sedikit riwayat kurator dan profil pemilik galeri di Indonesia. Persoalannya, fakta itu dikemukakannya bukan untuk menuntun pandangan kita ke arah pemahaman koeksistensial, melainkan dalih untuk melegitimasi lakon bermasalahnya di Umahseni.

Alhasil, hikmahnya sederhana saja: Kita perlu belajar saling memahami peran, status, dan eksistensi masing-masing pemangku kepentingan seni rupa di Tanah Air kepada yang lebih baik—bukan yang lebih buruk, apalagi tukang bikin onar yang inginnya lekas tenar di dunia seni rupa Indonesia.

Dengan demikian, baiklah kita pahami bahwa pameran seni rupa adalah situs penting dalam pertukaran modal ekonomi-simbolis di mana harkat dan martabat perupa dipertaruhkan oleh profesionalisme dan intergritas kurator yang mengampu pameran dan galeri yang memfasilitasi pameran.

Maka, sudah seharusnya pameran seni rupa secara profesional—tidak main-main apalagi sekadar untuk senang-senang—diampu oleh orang-orang yang memiliki komitmen dan integritas kerja yang serius. Orang-orang itulah yang selama ini dikenal sebagai KURATOR.—Wahyudin.***    


Hardiman, Bali, Dosen (6/5’13)

SEJAJAR TAK SEJAJAR

Seorang kawan, ia melukis, pameran, dan terus pameran. Ia kemudian dikenal sebagi pelukis. Suatu hari ia menulis dan mengurasi suatu pameran. Ia terus mengurasi sambil tetap melukis. Tak lama kemudian, Ia merasa tak nyaman dengan dua profesi yang tidak memiliki kesejajaran itu. Ia lalu memutuskan untuk berhenti melukis dan hanya mengurasi pameran saja. Kini ia dikenal sebagai kurator.

Kawan lain, ia jurnalis dan pengamat seni rupa. Suatu hari, ia melukis, dan terus melukis sambil juga tetap menulis. Ketika ia menulis kritik, ia merasa tak nyaman karena ia juga pelukis. Dua profesi yang tidak  memiliki kesejajaran.  Kini ia sepenuhnya berhenti sebagi jurnalis dan kritikus. Ia hanya melukis dan berpameran. Orang-orang menerimanya sebagai pelukis.

Kawan satu lagi, ia dosen seni rupa, rajin melakukan penelitian. Tulisannya tersebar di sejumlah jurnal dan  media massa. Ia kerap juga menulis kata pengantar pameran seni rupa. Kemudian ia mengurasi pameran, dan terus mengurasi sambil tetap jadi dosen juga peneliti seni rupa. Tak terdengar kabar kalau ia akan menghentikaan salah satu profesinya. Karena, baginya profesi sebagai dosen, peneliti, penulis, dan kurator itu  saling menunjang dan memiliki kesejajaran yang padu. Ia diakui oleh banyak kalangan sebagi dosen, peneliti, penulis, juga kurator.

Ada lagi kawan lain. Ia kolektor seni rupa. Kemarin ia mengurasi sebuah pameran. Lalu….***


Deni Junaedi, Dosen (6/5’13)

Sistem kuratorial dalam pameran seni rupa pada dasarnya adalah positif, karena kehadirannya dapat mengefektifkan perheletan seni baik secara teknis lebih-lebih secara konseptual. Mengingat kurator adalah sosok yang dapat memerahhitamkan gelaran seni rupa, persoalan yang muncul adalah: apakah sang kurator telah membangun ideologinya secara tepat? atau malah membebek pada ideologi kapitalisme-liberalisme yang memabukkan? atau hanya terpesona pada ideologi sosialisme yang seakan-akan heroik?***


Rizki A. Zaelani, Kurator seni rupa - Program Studi Seni Rupa FSRD ITB (7/5’13)

Self-Curated

Seniman Andy Warhol pernah mengungkapkan gambaran soal sosok seorang seniman. Ia katakan: “an artist is somebody who produces things that people don't need to have”. Maksud Warhol, tentu bukan berarti bahwa seniman tak dibutuhkan masyarakat; sebaliknya, seniman adalah sosok penting yang bekerja demi kemauan, harapan, mimpi, bahkan hasrat yang bergerak dalam kehidupan sebuah masyarakat, melampaui masalah mereka yang ‘hanya’ berkaitan dengan persoalan kebutuhan (the need).  Karya seni dikerjakan, diciptakan, atau ‘diproduksi’ dalam istilah Warhol, oleh seorang  sebagai tanda yang memaknai suatu masa. Hingga kini, banyak pihak sudah mahfum bahwa: seni bukan urusan ‘biasa’, selain lebih disebut sebagai ‘tidak biasa’ atau ‘luar biasa’. Jikapun mesti disebut ‘dibutuhkan’, maka sebuah karya seni dibutuhkan orang demi untuk mengenal dan membedakan keindahan dengan lawan sifatnya (keburukan).  Lebih dari persoalan kebutuhan hidup yang bersifat praktis, ekspresi seni kontemporer dibicarakan sebagai hal penting karena dipercaya mampu menembus batas-batas dari hal yang mampu dipikirkan seseorang; ‘mengajarkan’ metafora penjelasan yang mungkin bagi persoalan yang umumnya dimaklumi ‘tak mungkin’.  Manifestasi perkembangan seni rupa kontemporer dianggap berwatak radikal karena semakin berusaha mendekati pengalaman mengenai citra realitas yang ‘sebenar-benar’nya, menghapus pilar-pilar keutamaan tradisi medium seni rupa yang sebelumnya dianggap paradigmatik —tak ada lagi sekat-sekat jenis eskpresi seni rupa kini yang terus berkembang dalam bentuk-bentuk eksplorasi, percampuran, dan interaksi berbagai medium. Ketika medium seni boleh apa saja, maka bukan berarti jadi seniman bisa ‘siapa saja’ dan melakukan apapun yang dia inginkan. Para seniman kontemporer semakin sadar bahwa kebenaran hidup terasa kian jadi banal jika melulu hanya dipikiran nalar. Semakin dekatnya jarak ‘penciptaan’ karya seni rupa dengan praktek kehidupan sehari-hari (produksi, pertukangan, perdagangan) menghadirkan kabut ilusi tentang nilai kebenaran, obyektifitas, dan originalitas. Seorang seniman seakan bekerja dengan memikul tanggung jawab makna perubahan nilai semacam itu.

Awal tahun 2000’an, seniman yang juga bekerja sebagai kurator (atau kurator yang juga mengerjakan karya) Asmudjo J. Irianto menggelar proyek pameran yang dikejakannya sendiri, self-curated exhibition, berjudul ‘CleptoSign’. Inilah pameran yang secara masif serta demonstratif mempertontonkan kecenderungan karya-karya apropiasi  (appropriation works). Dalam perkembangan seni rupa kontemporer Indonesia, Asmudjo menjadi salah seorang figur penting yang mempopularkan kecenderungan penggabungan atau penggambaran ulang karya-karya seniman lain yang dikerjakannya kembali untuk tujuan kepentingan dirinya. Dalam wacana seni rupa kontemporar kecenderungan apropriasi ini dimaknai sebagai ‘sensibiltas alegoris’ (allegorical sensibilities). Makna ‘alegori’, allos=other + agoreui= to speak, terjadi saat satu karya ditumpukkan dengan karya lainnya, sehingga makna satu karya berada dalam jalimam permainan makna tekstual karya yang lainn setelahnya. Proses penciptaan karya semacam itu dianggap janggal bagi sebagian orang, meski kemudian benar-benar dirayakan para seniman muda setelahnya. Seperti Andy Warhol, pun Asmudjo meminta para tukang dan artisan membantunya memproduksi karya-karya tersebut. Di satu sisi,  ‘CleptoSign’ menjadi judul yang provokatif, Asmudjo seakan mengawali pembicaraan tentang nilai ‘originalitas penciptaan karya yang bersifat semu’ yang dipraktekan banyak seniman semasanya, Di sisi lain, judul itu tegas meletakan tanda-tanda penting perkembangan seni rupa kontemporer mempromosikan pola penafsiran ganda nakna karya-karya seni rupa. Bagi Asmudjo, proyek pameran self-curated ini tentu memiliki banyak alasan awal, tetapi tentu bukan atas pertimbangan kebutuhan disebut ‘seniman yang pandai menjadi kurator’ maupun dianggap sebagai ‘kurator yang handal karena bisa membuat karya seni’. Melampaui persoalan kebutuhan untuk dianggap dalam julukan apapun, saya rasa, ia lebih tertarik mempersoalkan nilai-nilai penciptaan karya seni rupa.

Dalam katalog pameran, Asmudjo membuat penjelasan kuratorial berupa catatan diskusi antara dia dan dirinya sendiri (“Wawancara Saya dengan Saya”). Apa yang diuraikan dalam catatan itu adalah pertanyaan serta jawaban ihwal yang mendasar dari konsep seni dan prosek kerja seni yang dilakukannya. Ia tidak menjelas-jelaskan karyanya selain justru membongkar cara dirinya berfikir, merasa, dan bertindak secara kreatif. Di Indonesia, projek pameran self-curated semacam ini memang tak banyak dilakukan --karena memang juga tak mudah untuk melakukannya. Dalam proses kerja kreatif semacam itu sang subyek (diri) seakan posisikan dalam dua keadaan yang berhadapan, pada aksi konstruksi dan de-konstruksi secara sekaligus. Bukannya tanpa resiko, karena proyek semacam ini bisa menjebak dalam drama self-narcissim yang akut dan membosankan. Bagi saya, Asmudjo berhasil lepas dari jebakan keadaan semacam itu bahkan saat ia melakukan proyek beresiko semacam itu dua kali (di Bandung dan di Yogjakarta). Hingga kini, saya tak pernah mendengar apakan dia lebih senang dianggap sebagai kurator atau sebagai seorang seniman; sehari-hari ia terus melenggang dan tetap mengangap pameran yang pernah dilakukannya sebagai sebuah proyek ‘investigasi’ seni rupa. Di sini, proyek pameran self-curated berlaku sebagai manifestasi sikap self-criticism yang berlaku dalam pengertian tentang ‘diri’ yang bersifat mendua (sebagai seniman sekaligus sebagai kurator). Catatan penting yang terus saya ingat adalah komitmen dirinya untuk mempersoalkan dasar-dasar persoalan mengenai seni rupa, yang ia kerjakan melalui tikaman kritik tajam atas posisi sang diri sebagai seniman serta juga atas batas-batas penguasaan yang bisa dijangkau oleh seorang kurator. Ini yang menarik sebuah proyek pameran self-curated yang dilakukan oleh seorang seniman/kurator. Bagaimana jika proyek itu dilakukan oleh seorang kolektor? Saat kolektor tersebut memamerkan karya-karya yang jadi koleksinya, maka tentunya kita akan menemukan adanya praktek self-criticism, atau semacam distansi analistis, atas keputusan, sikap, dan pilihannya mengoleksi karya-karya yang jadi miliknya –melampaui kebiasaan umum menjelas-jelaskan karya yang biasa dikerjakan kurator pameran atau kritikus.

Distansi analitis itu yang akan menjadikan proyek self-curated (karya koleksi) yang dilakukan seorang kolektor akan menjadi menarik dan penting –atau, ia akan terperangkap dalam terjebakan.  Tentu saja, ketika jejeran karya seni rupa dipajang dan dipertontonkan kita tak bisa menyangkalnya sebagai sebuah kegiatan pameran seni rupa. Kita ingat, sebuah pameran adalah juga arena bagi berbagai kepentingan. Di situ, sesuatu akan bermakna bukan karena atribut sebutan atau julukan-julukannya, tetapi karena bukti kerja yang dihasilkannya.

Bandung, Mei 2013
Rizki A. Zaelani
Kurator seni rupa | Program Studi Seni Rupa FSRD ITB***


Heru Hikayat, Kurator seni rupa (7/5’13)

Tanggapan saya tentang kasus kolektor jadi kurator:

Bukankah dalam kebudayaan Jawa ada ajaran mengenai sumarah? Kalau saya tidak salah, salah satu poin dalam ajaran ini adalah menerima posisi kita dalam hidup. Dalam pandangan ini, seorang rakyat jelata yang menerima posisinya lebih baik daripada seorang raja yang tidak berlaku sebagai raja.

Saya kira, tiap-tiap elemen dalam medan sosial seni punya peran masing-masing, seperti halnya dalam hidup, kita punya peran masing-masing. Bukan soal apakah peran seseorang melintas batas atau tetap pada batas-batasnya, melainkan, apakah kita berperan sesuai dengan porsi kita masing-masing?

Pak Hendrotan, demikian dulu tanggapan dari saya.
Terima kasih....

Heru Hikayat***


Aminudin TH Siregar - Ucok, Kurator seni rupa, Direktur Galeri Soemardja (7/5’13)

Kurator Bukanlah Profesi Gampangan*

“It’s not about presenting the best there is, but about discovering where the unpredictable path of art will go in the imminent future”.
( Harald Szeemann, 2004)

“The best way to learn how to be curator is to curate and to look at lots and lots of work....”
(Lawrence Rinder, 2002)

“A one person show is about the artist and the art. A curated show is about the art and the context”
(Steven Rand, 2002)
  
Menimbang cairnya medan seni yang kita jalani di Indonesia, menurut saya, pertama-tama, perlu ditegaskan bahwa menjadi kurator/mengkurasi sebuah pameran, bukanlah menjadi orang atau suatu pekerjaan yang sekedar hanya menulis pameran. Lebih dari itu, kerja profesi ini memiliki kompleksitas tersendiri. Dia – siapa saja yang nekat berkeinginan menjadi kurator - harus sanggup membekali dirinya dengan pemahaman yang baik dan akurat tentang: sejarah seni rupa, filsafat seni (estetika), teori/metode seni dan aneka pemahaman lainnya.
  
Mengapa syarat itu harus dibebankan dalam kerja keprofesian kurator? Jawabannya bisa terbayang dengan analogi sederhana: Pelukis bukanlah sekedar “mencorat-coret” bidang kanvas; memotret bukanlah sekedar membidik obyek di balik lensa kamera; memahat bukanlah semata mengurangi volume batu atau kayu.  Begitupula, analogi ini, bisa diterapkan ke dalam kerja kurasi: itu bukanlah sekedar menulis, memajang/menaruh karya seni di dinding galeri.

Berbeda dengan Barat, kemunculan seorang kurator seni rupa di Indonesia bukan berasal dari institusi museum seni rupa.  Oleh karena itu, terdapat banyak tuntutan ekstra yang membayangi kerja kurator guna mencapai pemahaman akan seni yang baik dan obyektif: menajamkan konteks pameran; memperkaya daya tarik tata cara penyajian; menetapkan artikulasi historis karya seni dan posisi seniman; dan sebagainya. Tentu saja sembarang orang yang merasa berhak menyandang keprofesian, baik seniman, kurator, kritikus dan sebagainya menandakan bahwa orang tersebut sebenarnya tidak mengerti persoalan. Dan tak hanya mengkurasi, menulis kritik pun memerlukan langkah-langkah yang kita sebut langkah kritik agar tercapai interpretasi serta justifikasi yang tajam dan, ini yang terpenting: obyektif. Langkah-langkah ini  diajarkan di perguruan tinggi seni rupa.

Dalam paradigma dunia modern, kurator merupakan istilah teknis yang menggambarkan kerja khusus seseorang di institusi kebudayaan dan kesenian. Kerja ini sesuai dengan makna istilah kurator: curatus yang sinonim dengan care. Makna luasnya adalah seseorang yang bertugas menjaga koleksi institusi. Garis besar kerja kurator meliputi pula tanggungjawabnya pada bangunan sejarah, riset, analisa, katalogus, restorasi, kerja arkeologis, mengadakan dan memajang obyek dalam bentuk pameran, megelola perawatan, dan melakukan penggalian makna obyek/koleksi.

Istilah kurator tidak saja bertalian dengan dunia seni rupa. Di negara-negara maju, istilah ini juga digunakan juga dalam dunia hukum, ekonomi, perpustakaan, kebun binatang, holtikultura, makanan dan sebagainya. Terdapat perbedaan cakupan kerja kurator dalam aneka konteks tersebut. Yang jelas, persamaannya, seorang kurator yang masing-masing bekerja di dunia tersebut adalah orang yang memiliki kapasitas pada bidang keilmuannya. Sulit kita bayangkan, misalnya, seorang yang mengaku kurator holtikultura tetapi kesulitan dalam membedakan ragam jenis tanaman padi.

Kurator museum, misalnya, mengurus dokumen sejarah, material audiovisual, artefak/karya seni, dan segala yang berkaitan dengannya. Dari hasil risetnya, kurator kemudian menyajikannya ke hadapan publik guna mengakselerasi kesadaran dan pengetahuan publik akan sejarah serta membangkitkan gairah untuk melakukan riset-riset berkelanjutan.

Dalam perkembangannya, muncul kemudian istilah kurator independen sebagai  manifestasi perluasan arena kerja baru melalui proyek-proyek seni yang lebih spesifik sembari membuka ruang-ruang alternatif. Di sana, kurator lebih tertarik membangun dialog terbuka dan efektif antara karya seni dan publik.

Pendeknya, beginilah rincian perbedaan kategori  kurator seni:

Kategori pertama, kurator yang terbatas pada konteks yang terikat dengan institusi museum (embedded curator). Pemahaman mutlak akan sejarah seni (umum maupun spesifik) yang digali dari koleksi museum, sehingga sejarah dapat dikomunikasikan kepada publik pada saat dia menempatkan karya-karya yang sedang dipamerkan adalah mutlak. Ini berarti bahwa kurator tersebut menghabiskan sebagian besar waktunya di dalam struktur museum/galeri.

Jenis yang kedua, kurator yang bekerja secara lebih leluasa tetapi berafiliasi dengan institusi (sisipan/adjunct). Sementara perhatian kurator embedded terfokus pada artefak koleksi seni masa lalu, kurator adjunct ini bisa memfokuskan kerja pada dinamika budaya kontemporer yang sedang mengelilingi mereka  - yang paling sering berpihak pada seni-seni avant-garde atau termutakhir.
  
Peran ketiga adalah apa yang dikenal dengan independen kurator – seperti yang dirintis Harald Szeemann. Jenis kurator inilah yang kemudian “mendadak berkembang biak” di Indonesia.

(Saya jadi terpancing untuk mempertanyakan: “Baiklah, kita menerima bahwa ada profesi yang disebut “independen kurator”, tetapi sebenarnya  independen terhadap (museum) apa, dan museum yang mana?)

Dalam sejarahnya, kurator independen melepaskan dirinya dari afiliasi museum/galeri/institusi seni rupa. Dalam kesehariannya, mereka bekerja sebagai kritikus seni, seniman, peneliti atau dosen di akademi seni. Harald Szeemann (1933-2005), seorang pelopor dalam kategori kurator ini, sebelumnya menempuh studi sejarah seni dan arkeologi. Debutnya dimulai ketika pada 1957 ia menggelar pameran Painters Poets/Poets Painters – suatu pameran yang didedikasikan kepada salah seorang eksponen Dada: Hugo Ball. Karir Szeemann semakin mencuat selepas membidani program-program yang agresif di Kunsthalle Bern, Dokumenta-5 dan Venice Biennale. Metode Szeemann ini kemudian menelurkan pemahaman akan kerja kurator independen (ia mendeklarasikan istilah kurator independen ini pada 1969 setelah keluar dari Kunsthalle).

Masih terkait dengan hal-hal di atas, direktur Apexart Curatorial Program New York Steven Rand meyakini mekanisme bottom-up: bahwa seorang kurator selayaknya tidak melulu mengandalkan pameran seniman terkenal. Justru, menurutnya, proyek yang ia lakukan dengan sejumlah seniman akan memunculkan nama-nama baru di arena seni rupa. Rand melanjutkan, alih-alih mempertimbangkan reputasi/nama seniman, seorang kurator mestinya lebih fokus melihat karya yang dikerjakan seniman. Dari proses ini kurator harus mampu menempatkan konteks-konteks karya di ruang-ruang sosial, politik, dan budaya. Proses ini hanya akan berhasil bila seorang kurator terlebih dahulu menghabiskan waktunya dengan membuka dialog, tak hanya seniman, tetapi dengan medan sosial seni di sekitarnya; mendiskusikan seni dan terus mencari alternatif baru agar tercipta perluasan tema – yang lebih segar dan memiliki tingkat akurasi degan konteks yang hendak dibicarakan. Dalam situasi ini, kerja empirik di lapangan merupakan modal awal bagi seorang kurator.

Persyaratan lain, mengikuti ajuan Lawrence Rinder – kurator Whitney Museum New York -, dan ini hampir menjadi kesepakatan di kalangan mereka yang berpengalaman dalam kerja profesi ini,  adalah bahwa seorang kurator juga harus peka terhadap ruang-ruang baru yang spesifik dan terus-menerus membekali diri dengan melihat karya seni sebanyak-banyaknya.

Sementara mekanisme lainnya, top-down, cenderung menempatkan posisi kurator berada “di atas” dan “mengatasi” karya seni serta senimannya. Thema Golden, seorang pengajar di Bard College Curatorial Program New York mengatakan bahwa kerja kurasi diawali dengan cara menetapkan gagasan terlebih dahulu, dengan catatan:  gagasan itu diserap dari konsepsi seniman dan muatan karyanya. Perlu segera dibedakan bahwa pernyataan Thelma Golden di sini dengan suatu kerja kurasi yang semenjak awal sang kurator mematok ide terlebih dahulu sembari mengabaikan seniman dan karyanya. Bila model top-down yang seperti ini digunakan, sebuah pameran cenderung terjebak sebagai “ilustrasi gagasan” sang kurator. 

Riset di lapangan seni, dengan demikian, adalah bagian dari kerja kurasi. Di negara maju sekalipun, tradisi riset ini masih terus dijalankan – apalagi di negara yang dunia seni rupanya masih berantakan seperti Indonesia.

Bagaimana Kemunculan Kurator di Indonesia?

Kini kita lihat kronik sederhana mengenai kemunculan kurator di Indonesia.

Keberadaan kurator di Indonesia tidak terlepas dari “sejarah pameran”. Ini berarti mencakup pula “sejarah ruang-ruang pamerannya”. Pada masa tertentu, kurator dipahami sebagai seseorang yang aktif dalam melakukan penelitian, penyeleksian, pemajangan dan penataan. Di Indonesia, evolusi kurator dan lingkup kerjanya berlangsung dari masa ke masa.

Istilah kurator sesungguhnya sudah mengemuka pada pertengahan 1960-an. Bukti ini bisa kita temukan di dalam katalog Dies Natalis Universitas Kesenian Rakyat (Unsera) – Bandung. Namun demikian, apa yang kemudian kita sebut “praktik kuratorial/mengkurasi” sesungguhnya sudah berlangsung sejak lama. Pada zaman Jepang, misalnya, S. Sudjojono di POETERA (Pusat Tenaga Rakyat), misalnya - ketika menyiapkan pameran tunggal Affandi – sudah melakukan proses seleksi, menyiapkan ruang pamer, memajang karya, menuliskan makna pameran dan mencetak publikasi. Pada masa ini kesadaran akan sebuah profesi yang bekerja di wilayah antara seniman – publik mulai dibangun.

Sementara itu, lembaga bentukan Jepang Keimin Bunka Shidosho (KBS) juga aktif menggelar program pameran karya-karya pelukis muda. KBS memiliki legitimasi untuk melakukan proses seleksi, pemasangan, pemetaan serta pemaknaan karya seni.  Itulah sebabnya, berbeda dengan karakter pameran semasa penjajahan Belanda yang cenderung menekankan aspek identitas, pameran seni rupa di masa Jepang merupakan kerja kebudayaan yang memiliki tujuan-tujuan khusus (terutama untuk propaganda perang dan kejayaan Asia Raya di bawah kepemimpinan Jepang). Penting dicermati bahwa, melalui KBS, seluruh program pameran di zaman Jepang jauh lebih sistematik dan terorganisir. Seniman-seniman Indonesia semakin menyadari bahwa pameran bukanlah sekedar “memamerkan hasil kerja seni” – yang dilakukan secara intuitif (seperti sebelumnya dilakukan oleh seniman-seniman PERSAGI di Toko Kollf, 1940), melainkan sebuah mekanisme - yang langkah-langkah kerjanya mesti tersusun dengan matang. Kalau dicermati, pengaruh KBS ini, secara organisatoris, berlanjut sampai pada dekade selanjutnya (1950-an).

Dari arah yang lebih resmi, keinginan serta kesadaran untuk menyeleksi, mengumpulkan, membeli, menata, merawat dan menyelidiki lukisan serta benda-benda yang “ditaksir” bernilai seni untuk dijadikan koleksi  “Museum Kesenian Nasional” sudah mengemuka pada 1946. Untuk merealisasikan rencana tersebut, Presiden Soekarno pada saat itu menerbitkan surat keputusan Presiden dan mendelegasikan Agus Djaya sebagai penanggung jawab rencana tersebut. Kendati usaha ini kemudian gagal, sebagian besar materi koleksi ini sempat dipamerkan dengan tajuk Seni Modern dari Indonesia di Tropen Museum, Belanda pada 1948. Tulisan Agus Djaya di dalam brosur pengantar pameran yang menerangkan siknifikansi pameran sebagai representasi identitas seni rupa modern Indonesia sudah memenuhi kelayakan kerja “kurator” dalam pengertian di zaman sekarang.

Pada dekade 1950-an, pameran-pameran seni rupa sering digerakkan secara institusional – biasanya oleh Kementrian Penerangan. Pola penyeleksian karya cenderung tidak diberlakuan secara ketat, sebab pemerintah berkepentingan untuk mendata kuantitas seniman di seluruh negeri. Pameran seni rupa pada masa ini lebih ditujukan sebagai media penyebaran informasi tentang peran seni rupa di hadapan masyarakat secara lebih luas. Yang menarik, pada masa itu pemerintah menyadari benar bahwa tugas mereka adalah “perantara” di tengah hubungan seniman-publik. Kesadaran terhadap pentingnya membangun infrastruktur seni pada dekade ini terbilang subur – seperti yang juga terjadi pada zaman Jepang. Kusnadi, ketika itu, bertanggungjawab dalam proses seleksi dan pengkoleksian karya. Sebagian besar hasilnya bisa kita nikmati di koleksi Galeri Nasional sekarang.
  
Penutup

Dalam rantai sosial yang sederhana, status seniman maupun kurator adalah produsen (makna). Galeri/balai lelang adalah distributor. Kolektor/institusi pembeli kaya seni adalah konsumen. Bila etika-etika dari rantai mekanisme ini saja bisa terus-menerus kita jaga, maka medan seni yang sehat dan berwibawa, insya allah, bakal terwujud. Kurator memang bisa mengisi peran sebagai cultural intermediaries (perantara budaya/ bukan produsen), tentu,  dengan beberapa catatan – sebagian seperti yang telah dipaparkan di atas.

Di dalam kompleksitas medan seni, rantai sosial tersebut tentu saja bisa saling bertumpang tindih. Akan tetapi, bahkan di negara-negara maju sekalipun, yang infrastrukturnya memiliki tingkat kerumitan tersendiri, “aturan-aturan main” di lapangan, secara implisit bisa kita lihat dan rasakan (dalam beberapa hal bahkan eksplisit). Sehingga, mustahil terjadi seorang kolektor, misalnya, bertindak sebagai kurator. Kalaupun itu terjadi – apalagi disertai kelemahan-kelemahan dalam praktik kurasinya (misalnya, condong ke soal-soal ekonomi saja dan gagal memvaliditasi konteksnya), maka pengakuan publik seni terhadap persoalan ini akan sangat kecil dan (sebaiknya) tidak usah dihiraukan. Kontribusi praktek kurasi yang salah dan keliru ini (mal praktek) ini pada gilirannya hanya akan memperburuk dan memperparah carut-marut di medan sosial seni Indonesia. Maka tidak mengherankan bila banyak pameran seni rupa belakangan ini yang berakhir sia-sia – kalau tidak bisa dikatakan terpeleset sebagai keriuhan pesta belaka  (bayangkan bila mal praktek ini terjadi di dalam dunia kedokteran, hukum dan agama dengan dokter gadungan, pengacara, ustadz atau pendeta palsu!). Seni rupa memang tidak segenting dunia kedokteran bagi kehidupan. Akan tetapi, tidak berarti dunia seni rupa tidak harus punya etika. 

Hal lain, penilaian atau pengakuan atas kerja kurator yang baik/berhasil juga harus dibangun berdasarkan parameter yang obyektif. Kita di tanahair belum mampu melakukan hal ini. Inilah kelemahan kita yang akhirnya membuat orang mengira bahwa mengkurasi/menjadi kurator adalah pekerjaan gampangan. Orang dibingungkan untuk menetapkan: mana pameran yang baik, mana yang medioker. Dan sampai hari ini, pengakuan atas predikat kurator tersebut hanya berlangsung dan dilaksanakan oleh segelintir orang dalam lingkup kecil saja - yang hanya memuaskan kepentingan kelompok tertentu.

Mengingat betapa masih sederhananya medan seni rupa Indonesia, bukankah urgensi membangun etika di arena sosial seni itu menjadi mutlak adanya, tak sekedar niscaya?
Karena itu, marilah kita sama-sama menahan diri untuk tidak melanggar wilayah kerja yang memang tidak kita kuasai; janganlah memaksakan diri.

Mari bersama-sama berkontribusi dalam usaha perbaikan dan penyehatan medan sosial seni rupa kita tercinta ini. Medan seni rupa kita ini punya sejarah yang panjang yang dibangun dengan susah-payah oleh para pendahulu kita; yang mereka dorong dengan semangat beretika dan intelektualitas yang tinggi dan terjaga; yang saling memelihara “aturan main” untuk kemaslahatan bersama.

Selamat bekerja sesuai kapasitas masing-masing!

Aminudin TH Siregar
Direktur Galeri Soemardja

* Bahan-bahan tulisan ini merupakan kutipan dari hasil riset penulis selama menempuh program residensi kurator di New York pada tahun 2002 atas dukungan Asian Cultural Council. Sejumlah kutipan diperoleh dari hasil wawancara langsung dengan penulis, kecuali, tentu saja,  Harald Szeemann.***



Enin Supriyanto, Kurator (12/5’13)

Multi-Profesi, Multi-Fungsi dalam "Seni Rupa Kontemporer Indonesia"

·     Kolektor merangkap kurator, juga pialang seni alias dealer + pengelola balai lelang; sekaligus juga seniman dan pemilik galeri; serta sekalian kritikus seni rupa, juga ahli sejarah seni rupa dan jurnalis seni.

·      Kurator sekaligus juga pialang seni, juga seniman dan pemilik galeri; sekaligus juga dosen seni rupa, penulis seni rupa, kritikus seni rupa, ahli sejarah seni rupa, dan jurnalis seni rupa + (bila perlu) pengelola balai lelang + kolektor.

·    Seniman sekaligus kurator + pemilik galeri juga dealer; merangkap sebagai kolektor dan sekaligus juga sebagai dosen seni rupa & penulis seni rupa, ahli sejarah seni rupa dan kritikus seni rupa; juga tanam modal di balali lelang.

·     Pemilik Galeri sekaligus seniman, juga jadi pemilik balai lelang, juga kolektor; merangkap jadi kurator dan penulis seni rupa; juga sekalian sebagai kritikus seni rupa, dan ahli sejarah seni rupa.

-         Pengelola balai lelang sekaligus pemilik galeri sekaligus kolektor; juga merangkap jadi kurator dan penulis seni rupa; merangkap jadi kritikus dan ahli sejarah seni rupa sekalian juga jadi seniman.

·     Jurnalis seni juga merangkap jadi kurator sekaligus kritikus seni rupa dan ahli sejarah seni rupa; juga dosen seni rupa + pemilik galeri sekaligus dealer + pengelola balai lelang.

Dan lain-lain, dan seterusnya…  Sila membuat beragam kemungkinan kombinasi lainnya sesuai kehendak Anda. Misalnya: warga negara, juga berprofesi sebagai Polisi, juga jadi Jaksa, atau Hakim, atau Pengacara, sekaligus anggota KPK, kadang juga panitera + makelar perkara, dan masih resmi anggota DPR, serta kerabat Menteri, atau Presiden, dan seterusnya

Jika semua kombinasi di atas adalah boleh dan benar, maka:

Seni Rupa Kontemporer Indonesia = Kolektor + Pemilik Galeri + Dealer + Pengelola Balai Lelang + Kurator + Seniman + (Dosen Seni Rupa + Kritikus Seni + Ahli Sejarah Seni Rupa +  (p+ r*)  —  {Pengetahuan Seni Rupa (Sejarah + Filsafat  Seni) + Sikap Kritis + Etika Profesi + Tanggungjawab sosial profesi + Akal Sehat +(x + y *)} = 0

Catatan:
*p + r =  jumlah yang tidak terduga dan tidak berhingga dari berbagai jenis profesi jenis lain yang punya kemungkinan pindah posisi dan peran masuk ke dalam wilayah "seni rupa kontemporer Indonesia" secara mendadak dan tanpa syarat.

*x + y = unsur yang berkenaan dengan etika umum seperti, misalnya, 'rasa malu', 'rasa tahu diri' dan sejenisnya.***


M Dwi Marianto, Dosen dan Kurator (12/5’13)
Menyambung polemik ttg Kolektor yang jadi Kurator
Tentang Kolektor yang jadi Karator? Terus terang saja, saya akan pakai 'ilmu' Gus Dur: Gitu aja kok repot. (Maaf kalau terlalu mendenting di kuping)
Di Yogya ada Pastor jadi Korator, beken lagi, dan berkualitas tulisan, serta cara ia mengumpulkan seniman untuk melawan kemapanan nilai,dan sistem.yang menindas. 
Yang penting adalah buahnya: Apakah ia melulu berkepentingan secara finansial untuk dirinya sendiri? Apakah kerja kuratorialnya mencerahkan banyak orang atau tidak? Ada kualitasnya kah hasil kuratorialannya? Bagaimana tulisan konsepsual kurasinya? Nyambungkah dg karya-karya yang dikurasi? Kerja kuratorial juga menuntut kreativitas. Dalam kreativitas tak ada logika linier, yang ada adalah lompatan dan loncatan yang inamis; dan berupaya untuk menangkap order dari yang tidak karuan, guna direpresentasi via kerja kurasinya.
Jadi, kembali ke topik, semua tergantung buahnya,, dan tergantung apakah buahnya itu meyakinkan banyak orang atau tidak. Orang lompat pagar beresiko tinggi: kalau berhasil dilihat sebagai jenius, kalu gagal ya idiot.
Hormat saya;.Salam Nusantara, m dwi marianto***



A.C. Razaq, IKJ, Urban Culture (12/5’13)


Sore pak Hendrotan , pd tg 25 sr sy ke pbkaan pameran dan karya-karyanya cukup menarik ,  tp mengecewakan krn lb " kolektor mengkuratori seniman "  tidak pd kenyataannya , tidak satu pun dari  3 kurator itu berani mempertanggung - jawabkan kerja kuratorialnya ,  bahkan pada saat art talk sekali pun. Sebetulnya setan pun kalau mampu dan bisa akan sah-sah saja mengkuratori pam. Tp saat sang  "kurator"  mengelak mempertanggung-jawabkan kepada publik dg dalih "kami bukan kurator", ITU MENYEDIHKAN , karena mereka telah seenaknya mempermainkan tiga orang perupa yg telah memberi kepercayaan kpd mereka , sia sia kaki ini melangkah kedalam ruang pamer . Maka sy akan berteriak  : Siapa mengingkari profesi dg merugikan orang lain itu bentuk kejahatan !  , semoga bermanfaat , maaf rada emosi Pak ,kalau mau silahkan posting diblog bpk ,  Salam  A.C. Razaq***





Tidak ada komentar:

Posting Komentar