Wicaksono
Adi, penulis seni rupa (17/5’13)
Kurator Sebagai “Kreator”
Oleh: Wicaksono Adi
Berikut ini adalah cuplikan email
saya kepada seorang kawan yang pernah duduk satu bangku semasa SMA di kota Malang ,
Jawa Timur. Kawan saya ini sekarang menjadi dosen ilmu fisika di Waseda University ,
Jepang. Selain menjadi ilmuwan, kawan saya ini juga maniak sepak bola. Maka,
saya sering berdiskusi soal sepak bola dengan dia.
Suatu kali, dalam salah satu
emailnya, dia pernah bertanya kepada saya: apa itu kurator dalam seni rupa?
Saya mencoba menjawab emailnya itu. Dan jawaban saya atas pertanyaannya itu
saya buat seolah-olah sedang berbicara kepada orang “awam” seni rupa. Kawan
saya itu memang awam seni rupa.
Saya mencoba menjelaskan kepada
dia mengenai apa itu fungsi dan kerja kurator dalam seni rupa dengan bahasa
yang seumum mungkin dan tidak mengutip buku-buku atau teori-teori yang biasa
dicerna oleh para spesialis. Penjelasan saya ini sebagian dibuat berdasar
pengamatan dalam seni rupa Indonesia ,
dan sebagian berisi harapan-harapan.
***
Kawan yang baik,
Sekurang-kurangnya ada empat
tingkatan kerja kuratorial dalam seni rupa. Tingkatan di sini tidak mengacu
pada “derajat”, “kelas” atau “posisi” sebagaimana terjadi pada klasemen Liga
Sepakbola semisal Liga Primer (Inggris), La Liga (Spanyol) atau Bundesliga
(Jerman), di mana tim yang berada di “kelas” bawah pasti berbeda “derajat”-nya
dibanding pimpinan klasemen. Tingkatan di sini mengacu pada daya jangkau proses
kerja dan karya kuratorial di medan
art world. Sebagaimana dalam ilmu fisika, ada yang namanya science world, di
seni rupa juga ada art world. Di situ terdapat suatu kosmos atau dunia dalam
cakupan tertentu berikut para aktor berpengaruh yang bertopang pada suatu
paradigma yang disepakati bersama.
Tak perlu aku jelaskan lebih
rinci bagaimana beroperasinya art world itu. Yang pasti, di situ terkandung
semua aspek kesenirupaan yang bekerja dalam konteksnya sendiri. Pada saat tertentu
aspek-aspek itu dapat ditransformasikan menjadi suatu produksi kebudayaan dalam
rangkaian tanpa akhir dari “field of symbolic games”, pada saat yang lain tidak
atau belum dapat ditransformasikan. Dalam setiap “games” terdapat kode-kode
yang disepakati sebagai aturan main di lapangan yang sangat tergantung pada
performa individu-individu yang bekerja dalam kerangka tim yang tercakup oleh
suatu gambar besar sebuah “turnamen” atau “liga” berikut segenap tradisi
penopangnya. Tradisi pada Liga Inggris atau Liga Jerman yang sudah berumur 100
tahun lebih tentu berbeda dengan Liga Super Indonesia (LSI) atau Liga Primer
Indonesia (LPI), berikut kisruh model pemulung kampungan antara PSSI dan KPSI
tempo hari.
Kisruh dalam persepak bolaan
Indonesia telah membuat orang mengalami disorientasi akut sehingga ketika
hendak menyusun gambar besar (big picture) dalam konteks “habitus” sepak bola
Internasional di bawah FIFA dan AFC, semua juga tak tahu harus bagimana mencari
titik pijaknya. Performa pemain sepak bola maupun tim di Indonesia tak dapat
mencapai puncak karena berkorelasi langsung dengan kisruhnya “habitus” dan
runyamnya pranata penyangganya.
Jadi, “kelas” atau “tingkatan”
sepak bola Indonesia
terus berada di bawah sepak bola Inggris karena segala aspek penyangganya tak
bekerja sebagai sistem yang benar. Perlu diingat, seperti dalam mekanika, jika
suatu elemen yang menjadi bagian dari suatu sistem macet atau longsor, maka
seluruh sistem pun juga akan macet. Demikian juga sebaliknya. Jikalau pun ada
individu genius di situ, tetap saja akan terperangkap di titik nol. Dia tak
dapat bergerak ke mana-mana dan akan mampus secara mengenaskan. Semua serba
sia-sia.
Demikian juga yang berlangsung
pada seni sebagai bagian dari “field of symbolic games” produksi kebudayaan.
Aku tak hendak mengatakan bahwa dunia seni rupa Indonesia
sama kacaunya dengan dunia sepak bola Indonesia . Yang hendak aku katakan
adalah bahwa daya jangkau setiap laku penciptaan seni dalam liga yang centang
perenang tidak dapat dibandingkan dengan daya jangkau liga di Eropa atau di
negara-negara yang sudah membangun tradisi liganya selama ratusan tahun.
Demikian juga dengan daya jangkau kerja kuratorial dalam seni rupa. Semua masih
sukar untuk diukur. Semua masih dalam proses pembentukan.
Dalam situasi yang masih berada
pada taraf pembentukan itu, memang semua orang dapat mengibarkan benderanya
sendiri, membentuk tim (dan jika banyak duit dapat membeli pemain-pemain
mahal), membuat stadionnya, menggalang supporternya, bahkan bisa juga
menciptakan aturan permainannya sendiri. Sesekali penonton dapat menghambur ke
lapangan merebut bola dari seorang pemain, menggiringnya ke gawang lawan untuk
menciptakan gol. Atau merangsek memukuli wasit, bergumul dengan penonton
lainnya, lalu polisi pun nimbrung, sehingga pertandingan sepak bola pun menjadi
adegan adu jotos yang seru.
Di situ pertandingan sepak bola
menjadi bagian saja dari suatu pertunjukan besar, suatu chaos (yang kadang
kolosal) dan dapat melebar di luar stadion dengan aksi bakar-bakaran atau baku bunuh para Bonek. Di
situ sepak bola tidak menjadi fokus utama di atas panggung. Pertunjukan yang
sebenarnya adalah keributan di dalam dan di luar stadion itu. Sepakbola hanya
menjadi salah satu mata acara dari acara besar huru-hara sosial, sebuah
performance art paling spektakuler.
Dalam kondisi “habitus” semacam
itulah kira-kira aku bicara tentang seni rupa. Tapi, sekali lagi, aku tak
hendak mengatakan bahwa seni rupa sekacau dunia sepakbola Indonesia ,
meski dalam beberapa hal ada mirip-miripnya juga. Jika engkau bertanya apa itu
kurator dan kerja kuratorial dalam seni rupa, maka aku hanya dapat memberi
penjelasan singkat saja. Kurator adalah salah satu aktor penting dalam art
world.
Kenapa dianggap aktor penting?
Baiklah, aku akan menjelaskan hal itu sembari langsung masuk ke jenis-jenis
tingkatan kerja kuratorial. Dan untuk kali ini aku hanya akan menjelaskan empat
jenis tingkatan kerja kuratorial dalam seni rupa.
***
Tingkatan pertama, adalah kerja
kuratorial untuk pemasaran. Yaitu kuratorial dalam seremoni pameran-pameran
reguler yang rutin diadakan oleh galeri atau ruang seni pada umumnya. Dan
karena pameran reguler semacam itu untuk kepentingan “pemasaran” produk, maka
jangkauan kuratorialnya pun sejauh kepentingan “pemasaran” itu. Hal ini juga
berlaku pada pameran-pameran produk yang lain di mana calon konsumen memerlukan
informasi atau penjelasan mengenai produk-produk yang dipamerkan. Baik konsumen
yang akan membeli karya atau kosumen yang akan menyerap “wacana”. Pasar pembutuh
karya atau pasar wacana, keduanya sama. Sama-sama diperlakukan sebagai
konsumen.
Kerja kuratorial pada tingkat ini
dibuat sepraktis mungkin. Semurah mungin. Kuncinya: efisiensi. Seorang kurator
dan galeri tak perlu berambisi melampaui peran pragmatis tersebut karena akan
buang-buang energi dan biaya. Jika perlu kurator hanya di-order untuk membuat
tulisan pengantar di katalogus pameran. Bahkan dalam beberapa kasus si kurator
tak pernah melihat langsung karya-karya yang akan dipamerkan. Si kurator cukup
membuat kerangka (wacana) dengan ukuran sekian karakter sekian kata, plus judul
dan atribut “pengantar kuratorial”.
Dalam bentuknya yang ekstrem, tulisan kuratorial itu kadang tak
ada sangkut pautnya dengan karya-karya yang dipamerkan. Yang penting, di
katalogus ada sebuah tulisan dengan alasan kelaziman. Sungguh aneh jika sebuah
barang cetakan bernama katalogus kok enggak ada teks-nya. Rasanya kurang enak
dipandang jika semuanya berisi gambar-gambar saja. Dan kenyataannya, baik
seniman yang berpameran, pengunjung pameran dan calon pembeli tak selalu
membaca ulasan kuratorial itu. Mereka punya cara sendiri untuk menilai karya
seni rupa. Karena si kurator, pihak galeri maupun konsumen karya sama-sama
paham bahwa kerja kuratorial berikut tulisan kuratorial di katalogus adalah
sebuah hiasan belaka, maka tak perlulah mempersulit diri. Tak perlu melampuai
daya jangkau yang memang sudah ditetapkan secara terbatas. Kerja kuratorial
dijalankan berdasarkan daya jangkau yang terbatas itu.
Tingkatan kedua, adalah kerja
kuratorial sebagai kerja inisiasi. Yaitu jenis kerja kuratorial yang hendak
menyusun suatu presentasi seni rupa, baik presentasi di ruang terbatas
(tertutup, privat), maupun ruang tak terbatas (terbuka, publik dan ruang
organis). Kurator adalah individu atau tim atau kelompok atau komunitas yang
hendak melakukan inisiatif mengajukan atau menyodorkan suatu peristiwa atau
rangkaian peristiwa atau proses artistik dalam stau peristiwa, atau untuk
menciptakan peristiwa tertentu dalam ranah “field of symbolic games” di medan
produksi kebudayaan tertentu.
Di tingkat ini, kerja kuratorial
menjadi lebih rumit dan prosesnya pun agak panjang. Biasanya kerja kuratorial
semacam ini berlangsung pada pameran atau event seperti Biennale atau
Triennale. Atau pameran-pameran khusus yang dibuat untuk tujuan yang khusus
pula. Biasanya pula, kerja kuratorial mengacu pada penciptaan peristiwa seni
rupa yang dibayangkan signifikan dan bukan sekadar sebuah pameran sebagai
pemasaran melainkan suatu tindakan produksi “makna” dalam konteks art world
yang lebih luas. Daya jangkau kuratorialnya akan menjadi lebih jauh, baik pada
ranah kerja kreatif individual atau kelompok seniman yang terlibat, maupun
stimulasi dan penyusunan format presentasi, atau inisiasi seni sebagai
peristiwa. Bisa juga suatu inisiasi bersama (secara terencana) untuk
menggulirkan gerakan-gerakan seni tertentu. Atau sekadar suatu penciptaan
pernyataan (statement) kesenirupaan atau pernyataan budaya.
Dalam bentuk paling sederhana,
ketika menjalankan kerja kuratorial, pihak kurator akan menjasi semacam partner
atau tandem atau pasangan (serasi atau tidak serasi) dari si seniman. Seperti
yang engkau lakukan, ketika di laboratorium engkau selalu bekerja bersama
dengan peneliti atau pakar ilmu fisika lain, dalam sebuah tim. Engkau selalu
bercerita bahwa setiap peneliti dengan tekun melakukan penelitian, mengolah
referensi teori ini-itu, melakukan eksperimen, mencatat lalu membahasnya
bersama. Engkau dan kawan-kawanmu selalu menemukan problem lalu bersama-sama
mencari pemecahannya. Dan pemecahan yang engkau lakukan bukan berdasarkan
angan-angan kosong tapi bertolak dari penelitian di laboratorium.
Tentu, seperti yang engkau
katakan bahwa membuat penemuan dalam kerja semacam itu juga membutuhkan
imajinasi, kreativitas dan keberanian menerobos paradigma yang ada. Itu yang
engkau lakukan bersama kawan-kawan ilmuwan di situ. Terus menerus melakukan
percobaan, menelaah, mencoba ini-itu, membuat hal-hal baru. Perkara gagal atau
berhasil, itu soal lain.
Kira-kira kerja kuratorial dalam
seni rupa dalam tingkatan ini memang sudah lebih jauh dari sekadar kerja
inisiasi. Tapi cara kerjanya mirip-mirip dengan para ilmuwan di laboratorium
tempatmu bekerja. Bedanya hanya pada bahan-bahan dan alat yang digunakan. Juga
bahasa serta kode-kode yang berlaku. Tapi prinsipnya sama belaka.
Tentu, kerja inisiasi dan upaya
melakukan percobaan bersama itu macam-macam skalanya. Ada yang dibuat dalam jangka pendek dengan
skala kecil dan menengah, atau dalam jangka panjang dalam skala menengah atau
besar. Ada yang
selesai dalam dua-tiga bulan, ada yang berlangsung semama bertahun-tahun. Yang
pasti, baik kurator maupun seniman sama-sama sebagai pihak yang menyelam dan
mengulik ide, bentuk dan serbawahana senirupa sejauh-jauhnya. Keduanya
sama-sama mencari “sesuatu”, lalu jika menemukan “sesuatu” itu, maka nanti
disodorkan atau dipresentasikan kepada khalayak. Dan dalam presentasi itulah
kemudian si kurator memarankan diri sebagai semacam “juru bicara”.
Tapi perlu diiingat, seperti yang
pernah engkau katakan, bahwa si “juru bicara” dalam presentasi penemuan fisika,
bukan satu-satunya penemu. Bukan penemu yang seungguhnya. Penemunya adalah
kolektif. Dalam presentasi si kurator memang di-plot untuk menjadi jubir karena
memang di situlah tempatnya. Tentu, kadang ada inisiator dan jubir yang
dominan, mau menang dan mau benarnya sendiri. Dia memaksa si seniman menuruti
pikiran dan kehendaknya. Dan seniman nurut saja seperti robot. Tapi jika hal
itu terjadi, tak ada keseimbangan. Seniman hanya dijadikan boneka si kurator.
Dan biasanya pula, hubungan model “diktator” itu tak selalu produktif. Hubungan
semacam itu gampang tergelincir menjadi hubungan Tuan-hamba seperti dalam
masyarakat feodal.
Tapi bagaimana mungkin seniman
bisa nyaman dengan pola hubungan Tuan-hamba itu? Sebagian seniman memang tak
mau masuk ke pola ini, tapi sebagian dengan suka rela menjalankannya. Mungkin
demi uang, gengsi atau hal-hal sepele lainnya. Tapi ingatlah, manusia Indonesia kebanyakan kan masih agraris-tradisional, termasuk para
senimannya. Maka mereka terkadang masih nyaman juga dengan pola hubungan feodal
semacam itu.
Kawan yang baik,
Perlu aku tambahkan bahwa pada
saat tertentu memang sebuah pameran atau peristiwa seni rupa adalah panggung
buat si kurator. Dalam 20 tahun terakhir, di Venezia Biennale, terutama pada
main section, itu adalah panggungnya kurator. Di situ para kurator yang
terpilih mempresentasikan “karyanya”-nya, meciptakan statement bersejarah.
Karya kurator itu adalah sebuah pameran dengan peserta beberapa seniman dalam
format tertentu. Si kurator memang seorang pembawa inisiatif. Dia memiliki ide
atau gagasan (berdasarkan penelitian dan pengamatan mendalam mengenai sesuatu,
mungkin juga hipotesa tertentu atas sesuatu itu), lalu datang ke seniman untuk
mengajak mereka mewujudkan gagasan tentang sesuatu itu. Ini mirip yang engkau
lakukan lima tahun silam ketika engkau menyusun
suatu proposal lalu datang ke Cornell
University mendatangi
para ilmuwan fisika dan bilang: “saya punya proposal ini, mari kita kerjakan”.
Lalu kalian masuk laboratorium selama dua tahun, dan kemudian ada hasilnya,
lalu hasilnya itu engkau presentasikan dalam sebuah simposium.
Tentu, engkaulah yang naik
panggung, sementara ilmuwan lainnya adalah anggota tim yang dengan dedikasi
tinggi terlibat serta menyokong bersama untuk mewujudkan proposalmu itu. Dan
sebuah persentasi sebenarnya adalah sebuah pernyataan. Dalam konteks
kreativitas seni, pernyataan bukan sekadar penandasan atau penekanan mengenai
suatu hal, melainkan juga sebuah tindakan politik, political art. Tapi jangan
salah paham, aku tidak sedang bicara seni untuk politik atau seni yang
bertendensi politik, melainkan suatu tindakan politik dalam ranah artistik. Hal
ini mirip political knowledge dalam ilmu sejarah misalnya. Sebagaimana kita
ketahui, dulu setelah masa kemerdekaan, para sejarawah Indonesia
memulai suatu upaya penulisan sejarah yang tidak Belanda-sentris, sejarah yang
disusun oleh kaum kolonial. Apa yang dilakukan para sejarawan kita masa itu adalah
sebuah langkah dekolonialisasi sejarah.
Demikian juga dalam seni rupa.
Sebuah proyek, baik yang dipresentasikan dalam event-event penting atau tidak,
pada saatnya harus dinyatakan sebagai suatu alternatif cara pandang terhadap
manusia, sejarah, kebudayaan, alam, pengetahuan, bahkan terhadap seni itu
sendiri. Suatu peristiwa dan presentasi seni harus didorong lebih jauh, menjadi
tawaran kepada khalayak ramai, di lingkup nasional maupun internasional, agar
menjadi “suara” yang mewakili “habitus” si seniman maupun kuratornya.
Gampangnya, seni didorong ke tingkat yang lebih lauh, yaitu sebagai
“alternatif” lain dari cara pandang yang sudah umum.
Di tingkat ini si kurator dapat
melakukan “gugatan”, “kritik” atau “evaluasi”, atau menyodorkan jalan baru
tentang sesuatu. Jika si kurator berasal dari negara-negara yang selama ini
dihegemoni oleh dunia Barat, (termasuk hegemoni dalam bidang seni), boleh jadi
dia akan menolak hegemoni itu dengan bentuk sebuah presentasi seni. Dia membuat
statement di situ. Dia dapat menggugat dan mensubversi apa pun, termasuk
mensubversi dirinya sendiri.
Itulah jenis ketiga dari kerja
kuratorial dalam seni rupa. Yakni jenis kuratorial dengan jangkauan yang lebih
jauh, yaitu sebagai pengusung suara “habitus”-nya dan suara zamannya. Dia
menjadi aktor pencipta permainan, dan bukan sekadar player atau komsumen pasif
atau sekadar penonton penggembira dalam liga seni rupa global. Dia mengajak
para seniman untuk menemukan diri dan menyatakan dirinya di medan art wold yang lebih luas. Terkadang
bahkan menjadi suatu statement atau gerakan budaya juga. Pada derajat tertentu
suatu peristiwa seni dapat memicu gerakan budaya atau gerakan sosial atau
bahkan gerakan politik.
Sedangkan jenis keempat, adalah
jenis kerja kuratorial yang lebih bersifat esoterik. Di tingkat ini, baik
kurator dan seniman adalah sesama kreator untuk dirinya sendiri. Seperti yang
pernah engkau ceritakan tentang seorang ilmuwan fisika yang bekerja sama dengan
sesama ilmusan fisika atau dengan ilmuwan di bidang lain, untuk memasuki ranah
evaluasi dan penciptaan ulang ilmu itu sendiri. Di situ masing-masing pihak
adalah para pembelajar yang hendak membuat karya masing-masing. Satu ilmuwan
dapat bekerja sangat intens dengan ilmuwan lain sehingga saling terinspirasi
lalu melahirkan karya baru.
Jadi, si kurator menghadapi seniman sebagai
kawan sekaligus lawan tanding. Setelah bekerja selama berbulan atau
bertahun-tahun kemudian si kurator dapat menghasilkan karya mandiri, entah
berupa buku seni rupa atau karya sastra, musik, film, teater atau yang lain.
Begitu juga sebaliknya, ide, pikiran, gagasan, pengetahuan dan imajinasi si
kurator akan menginspirasi dan memicu si seniman untuk melahirkan karya
mandiri. Pun, si kurator dapat terlibat dalam pengerjaan karya itu untuk
dipresentasikan berama-sama.
Dalam jenis keempat ini, kedua
belah pihak benar-benar terlibat dalam kerja kreatif dengan kapasitasnya
masing-masing. Di sini si “kurator” benar-benar menjadi “kreator”.
Kawan yang baik,
Tentu pembagian empat jenis itu
bukan harga mati. Masih ada jenis-jenis yang lain. Boleh jadi percampuran atau
kombinasi antara jenis pertama dan kedua, kedua dan ketiga, atau ketiga dan
keempat. Dan karena seni rupa Indonesia
masih dalam proses pembentukan semua masih serba longgar, masing
mulur-mungkret. Pembagian perannya pun belum sepenuhnya rigid. Seorang seniman
dapat menjadi kurator, kritikus bisa nyambi kurator, kolektor juga. Semua masih
bisa saling terobos. Sekali lagi, kadang fokusnya bukan pada pertandingan sepak
bolanya melainkan pada keriuhan di lapangan. Pemain, wasit, penonton dapat
menghambur ke lapangan hingga semua jadi lebih menggairahkan.
Patut dicatat, dalam
kontemprerisme orang memang tak perlu terpaku oleh batas-batas. Seni rupa akan
menjadi lebih kaya jika bergaul dengan seni-seni lainnya. Bahkan perlu juga
bergaul lebih intens dengan ilmuwan kimia, dokter, tukang tambal ban,
demonstran, aktivis politik, dukun-dukun, atau bahkan pemain sepak bola
sekalipun. Seorang ilmuwan fisika semacam dirimu suatu saat dapat berkolaborasi
dengan seniman, dan engkau dapat menjadi kurator jika seandainya ada seniman
yang mau mengolah dunia fisika. Tentu, peranmu adalah membawa masuk alam
pikiran si seniman ke alam pikiran ilmu fisika, atau sebaliknya. Dari kolaborasi
itu, baik si seniman maupun dirimu sebagai ilmuwan fisika akan mendapat semacam
“pengayaan” cara pandang.
Dan metode yang engkau gunakan
tentu akan berbeda dengan metode sorang kurator seni rupa profesional.
Kolaborasimu dengan si seniman berada pada ranah pengayaan paradigma. Bukan
pengayaan dalam ranah “games” artistik. Di sini kurator boleh berasal dari
mana-mana. Yang penting adalah apakah dalam proses kuratorial masing-masing
pihak mendapatkan “pengayaan” paradigma atau tidak. Jika tidak, maka kerja
kuratorial itu menjadi mengada-ada dan sia-sia.
Dari praktik kuratorial dalam
seni rupa Indonesia
selama ini, mayoritas memang berada di tingkat pertama, yaitu untuk tujuan
pragmatis. Jika kita bicara pada tingkat pertama ini, seandainya ada tukang
cendol ikut menjadi kurator, bagiku tak jadi masalah. Toh itu dilakukan untuk
tujuan pragmatis saja. Tujuan sesaat. Atau sebuah upaya gaya-gayaan belaka. Itu
bagus buat meramaikan pertandingan bola di lapangan. Akan membosankan juga jika
pertandingan bola melulu steril dan lurus-lurus saja. Dan tindakan di tukang
cendol itu tak akan mempengaruhi nasib dan jalannya sejarah seni rupa Indonesia . Tak
ada yang dipertaruhkan di situ. Siapa tahu di antara tukang cendol itu ada yang
memang sangat berbakat jadi kurator dan kemudian mendorong jangkauan kerjanya
lebih jauh, masuk ke tingkat kedua dan ketiga. Itu akan sangat bermanfaat bagi
seni rupa Indonesia .
Hal lain yang perlu dicatat
adalah, tempat latihan kurator di Indonesia memang nyaris tidak ada.
Di akademi seni rupa pun tak ada jurusan khusus yang mendidik calon-calon
kurator. Tapi ini ada untungnya juga, siapa pun yang memiliki minat dan
ketekunan mendalami seni rupa dapat ikut terlibat. Bahkan orang-orang yang
tidak dididik di akademi seni rupa dapat bergerak lebih bebas, mengusung
berbagai pendekatan dari disiplin ilmunya sendiri.
Jadi, bagiku, siapa pun orangnya
tak jadi masalah. Siapa pun boleh menjadi kurator. Tak ada larangan dalam
Undang-Undang. Bagi seni rupa Indonesia
saat ini, yang paling penting adalah, apakah orang-orang yang terlibat
(seniman, kurator, kolektor, pemilik galeri, kritikus, jurnalis, peneliti,
akademisi), dapat bekerja dengan sungguh-sungguh atau tidak. Orang berada di
situ hanya untuk iseng-iseng berhadiah atau hendak benar-benar menyelami dunia
seni rupa sebagaimana engkau menekuni ilmu fisika?
Penyakit paling memuakkan di Indonesia ini
adalah: kecenderungan orang untuk menggampangkan masalah. Orang mengerjakan
sesuatu dengan asal-sasalan, sambil lalu dan hanya karena kegemaran sesaat.
Seorang bintang sinetron “hantu-hantuan” tiba-tiba masuk ke partai politik dan
duduk di gedung Parlemen dan berbicara perihal masa depan bangsa. Seorang
centeng terminal tiba-tiba menjadi bupati. Seorang dukun jadi pengamat politik.
Tapi enggak apa-apa. Kita ini kan masih dalam masa
pertumbuhan. Dalam hal seni rupa, saya selalu mengajak siapa saja untuk masuk
dan menyelami dunia seni rupa. Seni rupa masih membutuhkan lebih banyak
personel. Siapa tahu nanti ada yang benar-benar serius mendalami, mengamati,
meneliti, mendokumentasikan lalu menulis dan syukur-syukur menjadi pendorong
roda sejarah seni rupa itu sendiri. Tapi kalau pun hanya iseng-iseng saja dan
ingin gagah-gagahan, siapa pun tak dapat melarangnya.
Kawan yang baik,
Maafkan aku, jika sampai di sini
aku belum bisa menjawab pertanyaanmu: profesi semacam apa kurator itu? Di mana
sekolahnya, berapa gajinya, apa titelnya? Sekali lagi kujawab: sampai saat ini,
dalam senirupa Indonesia ,
profesi kurator belum bisa didefinisikan dengan jelas. Jika engkau bertanya:
lalu kamu itu apa? Kurator juga? Aku jawab: aku penulis seni. Meski uangnya
sedikit, aku rasa itu adalah profesi yang menyenangkan juga. Dan sebagi
penulis, meski sesekali diminta “mengkuratori” pameran, aku belum dapat menjalankan
fungsi penulis itu dengan baik. Aku ternyata adalah penulis yang buruk.
Terakhir, aku camkan betul-betul
nasihatmu: “Adi, kalau kamu belum becus dalam satu hal, jangan bermimpi
melakukan hal lain dengan cara yang lebih baik”. Engkau benar, kawan. Selama
ini aku belum becus menjadi penulis seni, apalagi penulis seni rupa. Maka, aku
tak akan bermimpi melakukan hal-hal lain.
Terima kasih, kawan. Salam dari Jakarta .
Wicaksono Adi, penulis seni rupa.
***
Widji
paminto, Perupa ISI, tinggal di Tulungagung (18/5’13)
Kalau sesuatu
diserahkan/dikerjakan bukan kpd ahlinya tunggu sa'at kehancurannya.
Pertanyaannya adalah : Mampukah
seorang kolektor menjadi kurator secara maksimal? Tentu publìk yg menilainya
& alam yg menyeleksinya...
widji pr***
Tjandra
Winata, Kolektor di Bali (18/5’13)
Dear Pak Hendro,
Menurut saya, kolektor menjadi
kurator adalah suatu hal yang sah-sah saja, selama dia benar-benar memiliki
kemampuan dan pengetahuan untuk menjadi kurator.
Kolektor tersebut juga tidak boleh memiliki tujuan lain dengan menjadi kurator.
Pada intinya, jika semua dilakukan dengan hati nurani yang jujur, maka menurut saya hal itu sah sah saja.
Kolektor tersebut juga tidak boleh memiliki tujuan lain dengan menjadi kurator.
Pada intinya, jika semua dilakukan dengan hati nurani yang jujur, maka menurut saya hal itu sah sah saja.
Salam,Tjandra Winata***
Edo Pop,
Perupa (19/5’13)
KOLEKTOR menjadi KURATOR
Oleh: EDOPOP
Si Udin dan Si Mat Tayun adalah sahabat sejati, keduanya baru saja
membaca berita super hot kolektor
menjadi kurator di suatu blog Seni Rupa. Pada suatu saat meraka bertemu terjadilah
percakapan berikut.
Si Udin: Sebenarnya boleh gak kolektor jadi kurator mat
Si Mat Tayun: Secara normatif, kolektor menjadi Kurator tidak
masalah dan sah-sah saja.
Si Udin : Kok sah-sah saja!!!
Si Mat Tayun: Ya sah-sah saja, Saya membayangkan, seorang yang
telah berani menulis dalam kacamata kerja keprofesian kurator. Sudah
dapat dipastikan, seseorang sudah sadar betul memiliki kapasitas pada bidang
keilmuannya dan memililki modal empirik
di lapangan. Dan tidak ada masalah, sejauh yang bersangkutan memang memegang Teguh
Integritas dan Profesional dalam menjalankan fungsinya.
Si Udin: Tapi ini lain, tidak seperti itu bro!!. Belum dapat
menjalankan fungsi layaknya kuratorial yang ideal sesuai teori dibuku-buku gitu
tapi kayaknya; lebih didorong oleh faktor ketidakpuasan kuratorial selama ini.
Si Mat Tayun: wahhh…kalau kuratorial pameran nalar yang digunakan
lebih bertitik pijak pada kekecewaan terhadap prilaku kurator didalam pasar
Seni Rupa. Tak lebih sikap reaktif yg kurang kreatif. Reaksi yang justru
mematikan energi kretaif perupa sendiri dan bisa membikin amburadul kembali
posisi pelaku pasar dalam menata bangunan struktur sosial seni. Ya..ya..Tak
salah jika kesan yang timbul sepintas kemasan kuratorial pameran sangat
politis. Seperti bagian upaya mengkritisi peran secara luas, baik kuratorial,
galery dan intitusi akademis dari pada sebagai peristiwa kesenian.
Si Udin : Bagi perupa yang
terlibat dan dilibatkan dalam peristiwa tersebut jadi korban kepentingan dan
pembodohan namanya.
Si Mat Tayun: Biasa jadi begitu realitanya, karena dampak
kuratorial semacam itu. Perupa tidak dapat menghindar imbas dari image negatif
akan tercoreng intergritas dan kredibelitasnya. Tidak bisa disangkal, akan
tampak terang dan jelas menggambarkan macetnya nalar kritis seorang perupa dan
lemahnya pengetahuan terhadap medan
atau arena (field) seni rupa. Perupa semacam ini, tentu saja lemah posisi nilai
tawarnya gampang terkoptasi dan paling rentan menjadi “objek permainan” para
pelaku pasar. Perupa akan gampang terperosok dalam bentuk kerjasama yang tidak
saling menguntungkan. Perupa hanya semata-mata menjadi korban dari motif
bisnis untuk menegakkan watak kekuasaan
modal dalam memonopoli nilai dan selera hasil kreasi perupa. Atau bisa jadi,
biar terkesan mereka tidak sadar dimata publik seni, seolah-olah ini bukan
bagian konspirasi?. Atau biar publik menilai realita ini, hanya terkait erat
dari bentuk sikap apatis mereka terhadap
sistem kuratorial di kesenian bukan karena bentuk dari penampakan mental dagang
mereka?
Si Udin: Makanya jadi aneh, mereka percaya diri sekali pameran
tunggal. Mau memakai sistem kuratorial yang dilakukan seorang kolektor. Mungkin
kuratorial masih dimaknai oleh mereka seperti peristiwa kesenian?. Karena citra
yang dicapai sebagai bentuk kerja
budaya. Dengan kata lain, segala praktik ekonomi yang ditempuhnya itu, bukan
semata-mata untuk mengejar keuntungan, melainkan peduli terhadap nilai-nilai
kesenian.
Si Mat Tayun: Tumben Din, cerdas juga lho kali ini mas bro
hehehehehehehe
Si Udin: Alih-alih pameran tunggal mereka dari taktik strategi
hendak memperluas wacana estetis dan pemikiran dalam pempublikasian karya
mereka. Terkesan hanya harapan yang sia-sia dan menjadi kebodohan nyata bagi
perupa yang terlalu lama dipelihara huhahahahahaha…hanya sembarang berpendapat
mas bro…!!!
Si Mat Tayun: Benar mas bro….sebaiknya jadi perupa itu, harus mampu
mempertahankan spiritual dan semangat yang tinggi dalam karya seni yang
diciptakan, selain tetap konsisten dalam menjaga idealisme. Spiritual
berkesenian untuk menjaga konsistensi terhadap tema, ideologi, atau pun
pemikiran-pemikiran yang mampu menembus dimensi imajinasi penonton, sebagai
sebuah hasil komunikasi positif. Walaupun kesenian tidak dapat terlepas dari
persoalan modal, agen, dan pasar, tidak menjadikan ide-ide [mindset] perupa dikondisikan.
Akan tetapi lebih utama untuk membentuk jalinan pemikiran dan ideologi perupa
yang mapan, sehingga persoalan pasar, seniman lah yang harus mengendalikan.
Si Udin: Kalau pandangan kamu sendiri, seperti apakah kuratorial
pameran tunggal kamu pahami mas bro??
Si Mat Tayun: Wah mas bro….kalau pameran tunggal melibatkan kurasi
merupakan suatu realitas kerja kreatif dalam bingkai peristiwa kesenian yang “seksi-menantang”,
menggembirakan, membahagiakan, tapi sekaligus mencemaskan. Pameran tunggal
merupakan suatu pilihan yang cukup strategis bagi seorang perupa untuk
mengenalkan karya, pemikiran dan eksistensi secara utuh. Ada sesuatu yang dialami, ada perdebatan
pemikiran, timbul rasa ke(tidak)puasan. Tak heran, hasrat untuk mewujudkannya
dilakukan secara total, cukup menguras energi kreatif sebagai sebuah ruang
sistem dinamika bagi pemikiran dan sikap intergritas individu yang memiliki
standar personal dalam “membumikan” manajeman kreatif. Biasanya perupa akan
berusaha tampil dengan karya sebaik mungkin agar mendapatkan “apresiasi” dari
berbagai kalangan.
Si Udin: Artinya kamu masih percaya pameran tunggal disandarkan
pada pendekatan sistem kuratorial, untuk mengkomunikasikan berbagai bentuk
gagasan pada publik seni.
Si Mat Tayun: Bagi saya masih percaya pameran memakai metode
kuratorial sebagai suatu cara menemukan dan meletakan nilai konsepsi atau dasar
pemikiran tema pameran yang dapat mewakili konstruksi aspektual realitas
obyektif dalam aspek kerja kreatif perupa untuk menghasilkan bahasa estetis. Baik yang berkaitan dengan permasalahan
dalam kompleksitas yang di lingkungan sosial internal maupun eksternal perupa
di satu pihak. Dan capaian pemikiran maupun visual estetis dalam realitas
dimensi sosialnya di lain pihak. Dibayangkan proses kuratorial sebagai ruang sikap mental yang mampu menyatukan
sekaligus mengimajinasikan kesamaan dalam suatu tujuan bersama antara kurator
dan perupa. Sebuah tujuan meraih sesuatu yang terpusat pada dialogis, kebebasan
dan potensi kerja kreatif. Disamping itu, merupakan bagian dari konsensus
tentang kesadaran bersama antara Perupa, kurator dan pemilik galeri untuk menciptakan ruang partisipatif dalam
memberikan pertimbangan yang bijaksana merancang kerangka pameran yang tidak terpusat
pada satu kepentingan.
Si Udin: Artinya pameran ini, dirumuskan secara partisipasi dengan manajeman terbuka. Antara perupa,
kurator dan pengelolah galeri???
Si Mat Tayun: Tepat bro....Partisipasi dalam tukar pendapat secara
dialogis-kritis, seorang perupa diposisi sebagai subyek aktif artinya tidak hanya sekedar menyetujui atau
mendukung pendapat dari salah satu pihak. Diharapkan juga dengan partisipasi
sebagai wahana untuk memperlancar komunikasi dalam membangun saling pengertian,
saling memahami, serta saling mengkaji dan saling mengkritisi yang pada
akhirnya akan memberikan konstribusi positif pada kerangka pameran sedang dan
akan dirancang bersama.
Disisi lain, dengan partisipasi
untuk cara memperluas dan memperdalam hubungan dialogis antar perupa, kurator dan pengelolah galeri yang masing-masing mempunyai kepentingan dan
tujuan sendiri yang terbingkai dalam kepentingan bersama. diharapkan memiliki
nilai personal dan bersama sekaligus. Sehingga kerja sama dapat menjadi sebagai
ruang reflektif, atas makna relasional antar kepentingan yang terintergritas pada semangat saling
percaya…..Cukup Din, sampai disini dulu. Mala nanti jadi ngelantur sana-sini
tambah gak jelas kayak kolektor mimpi jadi kurator hehehehehehehe……….
Si Udin: wokkkkeeee mas bro!!!***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar