Enin Supriyanto, Kurator (20/5’13)
Bapak Dr. Wiyu Wahono dalam penjelasannya di forum ini
menyatakan: "Bahwa
seorang kolektor mengkurasi satu pameran bukanlah sesuatu hal yang baru. Salah
satu contoh adalah kolektor Florida
Rubell yang sejak lama melakukan hal yang sama."
Pernyataan dan 'pembelaan diri' yang diajukan Bapak Wiyu
itu mengingatkan saya pada seorang teman yang main bola 'tarkam'
(antar-kampung) dan sempat membawa tim-nya jadi juara meskipun gol hasil
'sundulan kepala'nya mestinya tidak sah, karena sempat terlihat tangan kirinya
ikut menyampok bola. Waktu saya ajukan keberatan saya, teman itu menjawab:
"Sudahlah… Yang begitu itu sih biasa! Maradona juga 'gitu!" Nah,
dalam alur pikiran teman ini, dia adalah sama dan setara dengan Maradona. Kedua,
soal tindakan Maradona sah atau tidak, dia tidak hirau. Yang penting 'kan Maradona yang pemain
hebat dan terkenal itu yang melakukan.
Pengetahuan saya sedikit dan dangkal soal kolektor hebat
yang juga jadi kurator. Saya tidak tahu soal kiprah Florida Rubell yang disebut
Bapak Wiyu. Yang saya tahu adalah pasangan kolektor Donald dan Mera Rubell yang
kini koleksinya dikelola melalui Rubell Family Collection and Contemporary Arts
Foundation. Lokasinya di Miami ,
Florida , A.S.
Kalau Florida Rubell yang dimaksud Bapak Dr. Wiyu adalah
bagian dari keluarga dan lembaga ini, maka pertanyaannya: Apakah benar kiprah
dan pencapaian Bapak Wiyu sebagai kolektor di Indonesia sungguh setara dengan apa
yang telah dicapai dan dilakukan oleh Florida Rubell? (Kalaupun Florida
Rubell yang disebut sebagai contoh oleh Bapak Wiyu bukan dari lembaga/keluarga
Rubell tadi, sebenarnya pertanyaan kepada Bapak Wiyu masih tetap sama.)
Rupanya memang demikian, setidaknya menurut alur pikiran
Bapak Dr. Wiyu pribadi. (Padahal, belum tentu juga Florida Rubell menganggap
apa yang dia lakukan dan dia capai dapat 'disama-samain' begitu saja dengan apa
yang sudah dicapai dan dilakukan oleh Bapak Wiyu sebagai kolektor.)
Kalau saja para kolektor Indonesia—terutama dan khususnya
Bapak Wiyu—terus mengoleksi karya seni rupa, menata dan mengelolanya dengan
sebaik-baiknya dan bahkan nanti "membagi" koleksinya untuk masyarakat
— seperti keluarga Rubell di Miami, Florida itu, atau seperti keluarga
Guggenhein di New York dan Venice, atau Christian Boros di Berlin dan juga
sekian nama besar kolektor lain dengan pencapaian dan sumbangan mereka kepada
komunitas seni rupa di negerinya masing-masing dan masyarakat luas — itu
tentulah tindakan seorang kolektor yang sungguh sesuai dengan tempat dan
perannya. Kita sangat membutuhkan kolektor seperti itu di Indonesia .
Kalaupun nantinya hanya itulah satu-satunya pencapaian dan sumbangan Bapak Dr.
Wiyu, yakni sebagai kolektor hebat seperti nama-nama besar tadi, bukankan itu
sudah sangat luar biasa? Itu pantas dapat penghormatan dan penghargaan dari
komunitas seni rupa Indonesia ,
atau bahkan bangsa Indonesia .
Kurator di Indonesia punya banyak kekurangan?
Bukankah kondisi yang sama juga berlaku bagi para pelaku yang lain di
ranah seni rupa kita ini, baik ia kolektor, pemilik/pengelola galeri atau balai
lelang. Begitu juga dengan seniman. Sama juga dengan kritikus seni rupa,
jurnalis, dosen/pendidik, dan lain-lain. Sebagian masih terus belajar,
bekerja dan berusaha jadi hebat. Sebagian, mungkin juga tidak akan pernah diakui
hebat.
Adalah sudah sangat bagus kalau tiap pihak terus berusaha
agar masing-masing peran dan profesinya terus dilakukan dengan cara yang lebih
baik, jadi hebat dan berguna bagi komunitas dan masyarakatnya.
Tiap orang yang ingin mendaki ke tempat tinggi dan hebat,
akan sungguh jadi hebat karena dari tempat tinggi ia ingin melihat dan
mengagumi keluasan dunia dan kehidupan dengan lebih baik lagi. Bukan
sebaliknya: ingin cepat naik ke tempat tinggi, melulu agar seluruh dunia bisa
melihat dan mengaguminya.
Enin Supriyanto***
Agung Hujatnikajennong, Kurator, Dosen (20/5’13)
Tanggapan Saya
Pak Hendro yang baik,
Terima kasih sudah mengundang saya untuk ikut menanggapi topik
'kolektor sebagai kurator' yang sedang ramai dibicarakan di blog bapak. Saya senang,
Pak Hendro begitu gigih mengelola blog ini, dan berhasil mengumpulkan
tanggapan-tanggapan yang beragam terhadap topik tersebut. Sebagian berupa
tulisan-tulisan serius dan kritis, dengan rujukan teori-teori dan sejarah yang
kita bisa temukan dalam buku-buku kuliah. Sebagian yang lain, meskipun
pendek-pendek, juga tidak kalah kritis dan serius. Alhasil, blog bapak ini
justru menjadi seru dan menarik karena tidak ada batasan quota kata ataupun
‘kedalaman’ tulisan yang dimuat.
Saya termasuk penanggap yang ‘telat panas’ dan ‘telmi’, alias
telat mikir. Alasan yang sebenarnya adalah karena urusan ‘ini-itu’ lainnya yang
menyita waktu. Tapi persoalan ‘kolektor menjadi kurator’ ini sesungguhnya
begitu rumit dan krusial. Rumit, untuk orang-orang yang betul-betul mengamati
dan meneliti medan
seni rupa. Krusial, bagi mereka yang betul-betul peduli dan berharap pada
terciptanya situasi yang lebih baik di masa depan. Sehingga untuk memberikan
tanggapan yang ‘asal nyemplung’ juga buat saya juga tidak mudah.
Setelah membaca semua tulisan yang telah diunggah di blog
bapak sampai hari ini (Sabtu, 18 Mei, pukul 00.30), sepanjang ujung dan pangkal
perdebatan saya menangkap pertanyaan-pertanyaan tentang 'otoritas kuratorial'.
Ini tercermin pada kata-kata ‘sah atau tidak’, ‘etis atau tidak’, ‘berhak atau
tidak’, dll., dsb. Para penanggap sudah
memberikan jawaban masing-masing. Saya sendiri punya jawaban singkat yang
kurang lebih sama dengan sejumlah penanggap, yaitu bahwa yaitu bahwa kapasitas
kuratorial seseorang harus diukur dari mutu pameran yang ia kerjakan. Saya juga
sepakat dengan pandangan konstruktif yang mengatakan bahwa, mengingat berbagai
situasi dan kondisi yang masih carut marut, sudah seharusnya medan
seni rupa Indonesia
dibangun dengan etika dan asas penghargaan pada kapasitas kepakaran seseorang.
Tapi saya ingin menunda penjelasan yang langsung menyasar pada pertanyaan pak
Hendro, dan, alih-alih, memperluas
diskusi ini dengan persoalan ‘otoritas’ yang saya maksud.
Buat saya ‘otoritas’ adalah persoalan sosiologis yang klasik
sepanjang sejarah seni rupa modern. Persoalan ini jelas ada karena kita
hidup dalam medan
seni rupa, yang tidak lain adalah suatu jejaring individu, kelompok/komunitas
dan institusi (pemerintah maupun partikelir). Jejaring ini terbentuk karena
kita diikat oleh suatu ‘mistifikasi’ yang sama, yaitu kepercayaan pada
pentingnya (praktik, wacana dan medan )
seni rupa. Secara alamiah maupun arbitrer ada sikap-sikap dan kepasrahan tak
sadar tentang fundamentalisme seni yang terartikulasikan melalui praktik sosial
dalam medan
seni rupa. Kebenaran satu-satunya yang berlaku dalam medan ini adalah ‘seni rupa itu penting!‘
(untuk satu dan berbagai alasan lain yang boleh jadi berseberangan).
Secara sekilas dan kasat mata, jejaring dalam medan seni rupa memang tampak cair, ‘demokratis’ dan nirkelas. Kecairan itu
terlihat terutama dalam suasana pembukaan pameran, di mana, misalnya, para
pejabat tingkat tinggi, para kolektor yang notabene usahawan/wati yang sukses
bisa duduk, berbaur, berbincang dan menikmati pameran bersama-sama dengan
seniman (penyair, sastrawan, pelukis, dll.), kurator, kritikus, pemilik galeri,
penyalur seni dan para penonton dari berbagai kalangan.
Kenyataannya, medan
seni rupa tidak secair apa yang kita sering bayangkan terjadi dalam pembukaan
pameran. Ia adalah jejaring yang hirarkis. Di balik suasana meriah dan cair itu
ada persaingan dan ‘pertarungan’
kepentingan (yang boleh jadi ‘kejam’) di antara individu dan kelompok. Para penganut faham Marxisme klasik akan mengatakan bahwa
apa yang terjadi dalam dunia sosial selalu merupakan persaingan antar kelas.
Tapi menurut saya ‘pertarungan’ yang terjadi dalam medan seni rupa tidak sesederhana seperti dua kekuatan
oposisional yang tengah berhadap-hadapan dan saling menjatuhkan secara
ideologis.
Menyitir para Foucaultian dan Bourdieusian, medan seni rupa pada dasarnya dapat dilihat
sebagai tempat dimana ‘kuasa’ (power) beroperasi. Foucault menjelaskan ihwal
‘kuasa disipliner’, sementara Bourdieu menyebutnya dengan ‘kuasa simbolik’.
Saya tidak ingin berpanjang-dalam dengan penjelasan tentang dua paradigma
pemikiran tersebut. Tapi inilah sebabnya mengapa saya kaitkan pertanyaan
tentang ‘kolektor sebagai kurator’ dengan persoalan ‘otoritas’, yang mungkin
bisa menyederhanakan pengertian ‘kuasa’ yang dimaksud.
‘Kuasa’ adalah semacam kekuatan yang melaluinya seseorang atau
kelompok dapat mencapai tujuan dan kepentingan melalui suatu 'pertarungan'
dengan kehendak-kehendak lain. ‘Kuasa’ beroperasi tidak secara kasat
mata. Alih-alih, ia adalah kekuatan disipliner yang tak terlihat, yang
melaluinya produksi wacana dan representasi dimungkinkan hadir secara subjektif
dan tak sadar dalam ucapan dan tindakan sehari-hari. Mempersoalkan
otoritas kuratorial sebagai wacana tentang kuasa adalah jalan masuk yang
menarik, tidak hanya untuk menelaah persoalan dalam blog ini, tapi juga
bermanfaat jika kita ingin menelisik apa dan di mana 'kuasa' dalam medan seni
rupa, dan bagaimana ia mewujud dalam tindak-tanduk para aktor/agen dalam medan
seni rupa.
Pro dan kontra tentang 'sah' atau 'tidak sahnya' kolektor
mengkuratori sebuah pameran menunjukkan bahwa medan seni rupa selalu
membutuhkan semacam mekanisme otorisasi, legitimasi, atau pentahbisan
(consecration), yakni cara-cara yang memungkinkan suatu praktik dalam medan
seni rupa dilimpahi semacam aura yang khusus dan berbeda dengan yang lain. Saya
menggunakan istilah ‘otoritas kuratorial’ karena pada dasarnya dalam medan seni rupa mekanisme
semacam itu dijalankan juga melalui pameran. Pertanyaan selanjutnya, di manakah
'otoritas kuratorial' di Indonesia? Seniman, publik, kolektor, galeri,
institusi, penyalur seni, ataukah kurator sendiri? Apakah otoritas itu
‘diciptakan’ oleh satu atau segelintir aktor (agen)? Secara individual atau
kolektif, secara arbitrer atau ‘natural’?
Saya cenderung berpendapat bahwa otoritas kuratorial dalam medan seni rupa tidak
hanya ada di tangan seorang kurator belaka. Proses pentahbisan, baik itu dari
objek non-seni menjadi seni, dari ‘seni rendah’ menjadi ‘seni tinggi’,
‘artisan‘ menjadi ‘seniman‘, ‘seniman pinggiran‘ menjadi ‘seniman mapan’, dll.,
dst., dilakukan secara bersama-sama dalam totalitas posisi para agen/aktor
dalam medan (seni rupa). Paradigma fungsionalisme struktural akan mengatakan bahwa
proses pentahbisan semacam itu adalah hasil dari suatu kerjasama (cooperation)
antara berbagai agen dengan peran-peran yang berbeda. Akan tetapi, seorang
analis Bourdieusian akan melihat proses pentahbisan itu dilakukan melalui
berbagai perjuangan atau pertarungan yang menentukan terjadinya pertukaran dan
transformasi modal simbolik (symbolic capital: ekonomi, sosial, politik dan
kultural, intelektual, dll.).
Dalam proses pertukaran dan transformasi modal simbolik, kuasa
seringkali dilihat bersumber dari modal tertentu. Akan tetapi ia dapat
terakumulasi maupun lenyap dalam 'pertarungan' ketika bertransformasi menjadi
modal yang lain. Ia hanya akan disingkap di dalam medan melalui keterlibatan modal-modal
lainnya. Kuasa simbolik dalam medan seni rupa dapat
berdampak pada penyeragaman maupun keterpecahan atau fragmentasi citarasa
estetik, kelas, dan hirarki, dan menyebabkan munculnya perbedaan posisi sosial
(contoh: seorang seniman aktivis kiri/anti-kapitalis yang radikal akan dianggap
melakukan perlintasan ideologis dan menempati posisi sosial yang berbeda dalam medan seni rupa ketika
berpameran di sebuah galeri komersial). Analisa tentang modal yang dimiliki
oleh seorang agen dalam medan akan menunjukkan
posisinya di hadapan kuasa simbolik yang secara dominan berlaku dalam medan .
Kembali ke blog ini. Dalam kasus pameran ‘When Collectors
Curate a Show’ terdapat upaya-upaya untuk menunjukkan bahwa ‘otoritas
kuratorial’ tidak bergantung pada suatu fungsi atau kategori agen tertentu
dalam medan
(misalnya kolektor, kurator, penyalur seni, kritikus, dll.). Saya sepenuhnya
setuju dengan itu, dalam pengertian bahwa siapapun yang memiliki modal kultural
yang cukup untuk mengkuratori pameran, tentu saja ‘boleh’, ‘sah’ atau ‘valid’
untuk menjadi kurator, terlepas ia seorang kolektor, makelar seni, tukang sapu,
tukang gantung lukisan, tukang las, dan tukang-tukang lainnya yang berkonotasi
‘non-kultural’.
Terjadinya pameran ini sendiri memang dapat menunjukkan bahwa
ada pertukaran modal simbolik yang terjadi antara 1) kolektor-quasi-kurator; 2)
seniman, dan; 3) galeri. Tapi apakah betul-betul terjadi transformasi /
konversi modal? Sayangnya, saya sendiri tidak datang ke pameran yang dimaksud,
dan tidak bisa memeriksa sejauh mana modal para kolektor ini sudah cukup untuk
bisa dikatakan ‘kultural’. Tapi dari sejumlah komentar yang termuat di dalam
blog ini, dan terutama dari analisis Wahyudin yang secara khusus mempersoalkan
tulisan dan bingkai kuratorial pameran, saya menduga bahwa para kolektor ini
hanya mengandalkan ‘modal ekonomi’ (perkongsian dengan galeri) dan ‘modal
sosial’ (pertemanan atau perkenalan mereka dengan seniman) mereka. Dalam
pernyataan yang menganggap bahwa kesuksesan pameran dapat diukur dari penjualan
karya-karyanya sebetulnya sudah tersirat kuasa simbolik macam apa yang dominan
dalam pameran ini.
Analisa terhadap peran galeri penyelenggara pameran menjadi
sentral untuk mengetahui transformasi modal semacam apa yang
dibayang-bayangkan. Dari label pameran cukup jelas bahwa ada agen-agen yang
disebut ‘kolektor’ yang menunjukkan perlintasan (trajectory), habitus dan modal
ekonomi yang diharapkan dapat dikonversi menjadi modal kultural dalam medan.
Akan tetapi benarkah kuasa ekonomi saja cukup untuk bisa menahbiskan sebuah
pameran menjadi ‘auratik’, dan mentransformasikan modal ‘ekonomi’ para kolektor
menjadi ‘kultural’, yakni sebagai kurator? Saya menganggap pameran ini gagal,
terutama jika dilihat dari perdebatan yang berlangsung di blog ini.
Dalam medan
seni rupa, proses pentahbisan seringkali melibatkan dua pilar, yaitu otonom dan
heteronom sekaligus. Pilar otonom identik dengan kepercayaan terhadap otonomi
seni itu sendiri. Prinsip seni untuk seni menunjukkan bagaimana pilar otonom
beroperasi dalam medan
artistik. Sementara yang heteronom berhubungan dengan ikatan-ikatan medan seni rupa dengan prinsip-prinsip dalam medan yang lain (misalnya
ekonomi dan politik) dalam mengungkapkan nilai. Contoh dari keberadaan pilar
heteronom adalah perubahan-perubahan yang terjadi dalam praktik seni rupa,
seperti misalnya komodifikasi objek-objek ‘anti-seni’ (silakan sebut Duchamp,
Dada, Fluxus, dll.) sebagai dampak dari nilai ekonomi dan tuntutan bisnis.
Sepanjang sejarah seni rupa, upaya-upaya untuk memisahkan
sepenuhnya pilar otonom dari yang heteronom seringkali gagal (terbukti pada
proses komodifikasi karya-karya avant-garde, misalnya).Di sisi yang lain,
asumsi bahwa otonomi seni adalah mutlak juga sudah lama goyah. Saya sendiri,
pada akhirnya, lagi-lagi harus mengikuti pandangan para Bourdieusian yang
melihat dua pilar tesebut sebagai suatu kontinum (kesinambungan) yang bersifat
multifaset dan ulang-alik.
Tentu saja kita tidak bisa mematok para agen dari keprofesian,
atau kategori semacam seniman, kolektor, kritikus, untuk melihat di mana posisi
mereka berdasarkan kedua pilar tersebut. Yang bisa kita lihat adalah bagaimana
para aktor dan agen tersebut melakukan perlintasan-perlintasan dari satu pilar
ke pilar lainnya. Perlintasan semacam itu bahkan sangat mudah ditemukan dalam
sejarah praktik kekuratoran di Indonesia .
Dari perspektif sejarah, proses pentahbisan seni juga selalu bergerak dari satu
pilar ke pilar lainnya. Ada masa-masa ketika pentahbisan itu bergerak
statis dalam pilar otonom, dan seringkali berbanding terbalik dengan logika ekonomi
atau politik. Akan tetapi pada masa yang lain, pilar heteronom justru sangat
dominan.
Melalui konsep ‘kuasa’, kita memang bisa memahami medan seni rupa sebagai
suatu unit sosial yang berfungsi untuk terus-menerus mempertahankan dan
memelihara nilai seni dalam masyarakat dengan berbagai cara. Tapi untuk saya
sendiri ada pertanyaan laten yang masih mengganjal: Jika ‘kuasa’ pada dasarnya
akan selalu termanifestasikan melalui keterlibatan para aktor/agen dalam medan seni rupa, bahwa aktor/agen dalam medan seni rupa sesungguhnya selalu merupakan
objek maupun subjek kekuasaan itu sendiri, kuasa macam apa yang tengah
menguasai kita saat ini? Perlintasan apa yang tengah dilakukan ketika menulis
tanggapan untuk blog ini? Mengapa ketika ada sebuah biennale internasional di
Indonesia yang dikuratori oleh sejumlah wartawan / penulis seni rupa, yang
notabene tak punya cukup pengalaman untuk mengkuratori sebuah pameran besar
berskala biennale, isu seperti yang sedang kita diskusikan kali ini tidak
muncul? Mengapa isu ini justru menghangat justru ketika ada sebuah galeri
komersial yang mengundang sejumlah kolektor untuk 'mengkuratori' pameran?
Agung Hujatnikajennong***
Grace Samboh, Kurator, Pekerja seni (21/5’13)
Pak Hendro Tan yang baik,
Melanjutkan pertanyaan Agung Hujatnikajennong: Mengapa
tidak membicarakan Biennale Jakarta 2011 yang dikuratori oleh tiga
wartawan/penulis seni rupa dan bukan kurator? Apakah dengan adanya perbincangan
ini berarti sebuah pameran tiga-seniman di sebuah galeri komersial lebih
penting daripada Biennale Jakarta? Apakah dengan saya berpendapat sekarang ini
saya sedang berkontribusi "membuat pameran kolektor-kurator" ini
menjadi penting? Bagaimana dengan Paviliun Indonesia di Venice Biennale 2013
ini? Bukankah, selain kurator Rifky Effendy, ada peran jurnalis Carla Bianpoen
di dalam kerja kuratorial Paviliun Indonesia ? Mengapa kita tidak
memperbincangkan (paling tidak) kedua contoh barusan? Atau, mengapa
perbincangan tentang kedua contoh tersebut tidak "dilembagakan" dalam
blog ini? Manakah yang lebih penting menurut Pak Hendro Tan? Dan, mengapa?
Karena perbincangan ini sudah berlangsung, apakah mungkin
kita mengirimkan paling tidak dua pertanyaan awal Pak Hendro Tan kepada yang
bersangkutan kolektor-kurator? Demi pengetahuan bersama, apakah para
kolektor-kurator mau menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut?
1. Pertimbangan motif dan tujuan yang
menggerakkan mereka untuk mengurasi?
2. Praktik dan
paradigmatik kuratorial macam apa yang mereka amalkan dalam pameran itu?
Saya rasa, hanya dengan jawaban merekalah kita bisa
memperbincangkan soalan ini lebih lanjut atas nama pengetahuan mengenai kerja
(dan etika) kuratorial di Indonesia . Itupun kalau yang
bersangkutan menganggap kerja (dan etika) kuratorial di Indonesia itu
ada dan cukup penting untuk diperbincangkan.
Awalnya, saya cenderung malas menanggapi reramaian
"kolekor-kurator" ini. Saya sepakat dengan komentar
singkat-jelas-padat dari seorang teman di Bandung ,
"Gue pikir, kalau dibicarakan terus, malah jadi penting pameran itu."
Kalimatnya sederhana. Tapi secara tidak langsung ia sedang mengatakan bahwa
menurutnya ini bukan soalan yang penting, apalagi untuk dikaji. Tentu jadi
menarik untuk bertanya kepadanya: Apa yang penting dalam seni rupa Indonesia
sekarang ini? Mengapa ia penting? Itu juga pertanyaan yang terus-menerus saya
tanyakan pada diri saya sendiri.
Sekarang, keingintahuan saya akan jawaban para
kolektor-kurator mendorong saya untuk menuliskan pendapat ini.
Salam hangat,
Grace Samboh (Kurator, Pekerja seni)***
1. Sesuai dgn tujuan awal saya... Agar Davy membuat karya. Saya pikir ini dapat terrealisasikan.
2. Role saya adalah sebagai Partner dalam diskusi dan berikan inspirasi kepada Davy. Lebih tepatnya inspirasi bukan dalam "creating artworks" tapi agar Davy "menjadi lebih critical terhadap karya dia sendiri".
Wed, May 22, 2013 at 3:34 PM from Arif
Suherman, Kolektor (22/5'13)
HT. (hendrotan) :Pak Arif Suherman met siang , akhir bulan
ini diskusi on line bertema Koletor Menjadi Kurator diblog www.
sriseutuhnya.blogspot.com akan selesai - ditutup , Anda sebagai tokoh dipokok
pembicaraan tsb. berkesempatan memberi tanggapan , silahkan di tunggu sd. 26
Mei .
Salam hormat hendrotan
AS. (Arif Suherman) :
Terima kasih atas kesempatannya pak. Saya pikir sudah banyak expert dan tokoh
senirupa Indonesia
yg sudah kasih masukan yg bagus2. Saya sebagai collector baru sepertinya kurang
pantas utk tambah saran.
Sesuai yang sudah saya sampaikan ke bapak, tujuan saya sangat
sederhana sekali dan mungkin berbeda dengan dua kurator yg lain. Ini juga sudah
saya sampaikan saat forum diskusi di Umahseni. Silakan bapak check.
HT :
Maaf , apa sms Arif ini perlu diposting sebagai pernyataan ?
AS :
Tidak perlu Pak... Mungkin utk Bapak saja karena sebenarnya
sdh saya sampaikan saat diskusi awal.Saya juga tidak ingin membuat teman2
senirupa di Indonesia
yg tidak berkenan dgn pameran ini merasa tambah tidak berkenan.
HT :
Banyak terima kasih Arif
AS :
Di saat awal saya hanya ingin mencoba utk kerjasama di suatu
project dengan Davy Linggar, seniman yg saya respect dan juga sahabat baik
saya. Davy sudah brp tahun tidak membuat karya dan itu suatu hal yg saya
sayangkan karena saya merasa Davy adalah seorang seniman yg baik. Dua tahun ini
saya banyak berdiskusi mendalam dengan Davy mengenai art dan ini sangat
menyenangkan sekali. Pada saat kesempatan ini ditawarkan ke saya, saya pikir
ini chance yg baik utk bekerjasama lebih erat lagi dan mudah2an Davy dapat
memulai membuat karya lagi.
Setelah project ini selesai, saya sempat berpikir role saya
di pameran ini sebenarnya apa? Ini juga ditanyakan oleh ibu Carla sebelum
pamerannya dibuka. Saya
sampaikan ada 3 role yg saya jalankan yg mungkin sebagian tidak di plan dari
awal.
1. Sesuai dgn tujuan awal saya... Agar Davy membuat karya. Saya pikir ini dapat terrealisasikan.
2. Role saya adalah sebagai Partner dalam diskusi dan berikan inspirasi kepada Davy. Lebih tepatnya inspirasi bukan dalam "creating artworks" tapi agar Davy "menjadi lebih critical terhadap karya dia sendiri".
3. Mencoba untuk menulis satu kuratorial agar karya Davy dapat di mengerti
dan lebih dinikmati oleh audience. Dari seluruh pengalaman pameran ini, menurut
saya ini adalah yg paling sulit utk saya. Untuk saya memahami karya Davy tidak
sulit karena kita sdh sekian lama berdiskusi. Sering kali Davy tidak perlu
bicara banyak dan saya dapat menangkap apa yg dia ingin menyampaikan dalam
karyanya. Akan tetapi gimana caranya utk bisa membantu audience utk melihat yg
sama merupakan suatu hal yg tidak mudah. Ini menjadi Challenge utama bagi saya
di pameran ini.
Saya sangat berharap Pak Hendro dapat
meluangkan waktu sedikit utk membaca kuratorial saya. Mudah2an ini dapat
membantu Bapak utk sedikit bertambah enjoyment saat lihat exhibition
Davy. Ini akan merupakan suatu kehormatan yg luar biasa bagi saya.
Mohon maaf Pak kalau bahasa Indonesia saya kurang bagus.
Kuratorial tsb memang ditulis dalam bahasa Inggris dan diterjemahkan ke bahasa
Indonesia. Semoga ini dapat menjawab pertanyaan
Bapak. Thanks and have a good day.
HT : Pak Arif, tulisan teremail sudah saya
terima, bolehkah diposting di blogwww.sriseutuhnya.blogspot.com . harap dijawab dan terima kasih.
AS :
Boleh di posting pak. Thanks.***
hendrotan, Pemilik Galeri (23/5’13)
Pembaca blog Yth.
TULISAN KURATORIAL para Pemeran “Kolektor Menjadi Kurator” bisa di baca di http://umahseni.com/main/
Salam hangat hendrotan***
TULISAN KURATORIAL para Pemeran “Kolektor Menjadi Kurator” bisa di baca di http://umahseni.com/main/
Salam hangat hendrotan***
Teguh Ostenrik,
Perupa (24/5’13)
Dearest Adi Wicaksono, permainan bolamu memang sangat
menarik. Meskipun saya pernah tinggal lama di negeri yg persepakbolaannya
sangat kuat. Bahkan pernah ber-kali2 jadi tukang sobek karcis di Olympia
Stadion Berlin .
Kok saya tetap tidak pernah menyukai olahraga yang satu ini. Tapi keingintahuan
tetap ada dan sering muncul kepermukaan. Achirnya saya nonton pertandingan bola
dunia di TV. Saya coba ignor BOLA nya. Wah menarik sekali. Ada pertunjukan koreografi yg maha dahsyat,
dengan 22 penari pria yg saling berkejaran, melompat, menyikut, menendang kaki
lawan penarinya bahkan mengumpat.
Tiba2 ada yang menari, berciuman, berpelukan bahkan saling
tindih diatas rumput. Wah. Mereka hebat. Berani melakukan vorplay didepan umum,
bebas malu menyiapkan diri untuk sebuah orgie. Jantungku semakin berdebar,
merasakan getaran homoerotik. Tiba2 celana dalamku terasa sesak, bahkan
pantatku membasah. Tapi ada keraguan yg menghantui benakku. Mungkin
takut kehilangan bola...? ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar