Minggu, 12 Mei 2013

KOLEKTOR MENJADI KURATOR - Update tanggal 13 Mei 2013


Eddy Soetriyono, Art expert dan Kurator (13/5’13)

TANGGAPAN
KOLEKTOR JADI KURATOR

Oleh
Eddy Soetriyono
(kata orang) seorang art expert

Sebetulnya, yang akhir-akhir ini diributkan itu –yakni pameran “Beyond Boundaries: When a Collector Curates a Show” di sebuah galeri di Jakarta, 25 April hingga 25 Mei, di mana tiga orang kolektor menjadi kurator pameran-- bukanlah hal baru di Indonesia. Dulu, sudah ada pameran yang dikuratori oleh mereka yang tidak punya predikat kurator dalam kehidupan sehari-hari. Bedanya, yang sekarang ini dibikin heboh.

SAH, HAK, DAN KEWAJIBAN

Dan orang sibuk dengan argumentasi sah atau tidak sah, lalu banyak yang berpendapat bahwa itu sah-sah saja. Ya, kalau yang dipersoalkan cuma sahnya, ya sah-sah saja. Seperti sah-sah saja setiap warganegara Indonesia untuk menjadi presiden, sah-sah saja untuk menjadi anggota DPR, sah-sah saja untuk menjadi wartawan harian Kompas atau majalah Tempo. Sah-sah saja SBY merangkap berbagai jabatan, sehingga kita bingung: sebetulnya dia itu pimpinan rakyat Indonesia atau pimpinan anggota partainya sih. Sehingga, kita rakyat Indonesia harus peduli, harus memaklumi, bahwa partainya sedang dilanda prahara. Apalagi cuma mau jadi kurator, yang tak ada AD/ART-nya, tak ada aturan perusahaannya, tak ada rambu-rambu hukumnya. Silakan. Silakan. Tak akan ada yang melarang –untuk mereka yang hanya tahu logika, tapi tak tahu etika, apalagi estetika.

Apa yang kita lihat dari fenomena sosial-politik-budaya di atas? Kita selalu bicara mengenai “hak”, bicara tentang “sah” secara akal-akalan formal –yang hanya menghasilkan debat pokrol bambu. Kita hanya ribut soal “yin”, dan melupakan “yang”-nya. Kita tidak pernah berbicara mengenai “kewajiban”. Lihat saja: ada HAK asasi manusia, HAK kebebasan berserikat, HAK kebebasan pers, dan hak-hak lainnya –tapi mana kewajibannya. Kita membela HAK asasi manusia si penjagal brutal yang sangat telengas, sambil melupakan hak asasi manusia korbannya. Kita berteriak terus soal kebebasan pers, sambil melupakan kewajibannya untuk menjaga privasi seseorang, menjaga tayangan sadis dan cabul yang bisa mengganggu perkembangan anak dan remaja, dan melupakan pertimbangan: apakah berita itu hanya akan menghasilkan sensasi atau memang penting untuk kemaslahatan “masyarakat luas”.

Jadi, untuk “salah seorang kurator pameran itu yang asbun-nya paling memekakkan telinga”, adalah “hak” saudara untuk menjadi kurator –entah kurator sejati, atau kurator gadungan, atau kurator jadi-jadian, atau kurator petualang, atau kurator tabrak-lari. Tapi, yang penting, apakah Anda juga telah melakukan “kewajiban” sebagai seorang kurator –yang telah sangat bagus sekali diuraikan oleh saudara Aminudin “Ucok” Siregar. Jangan ketika ditanya kewajibannya, Anda malah secara pengecut “ngeles” alias tabrak-lari dengan mengatakan “...saya BUKAN  kurator, dan juga tidak bermaksud  menjadi kurator dalam pameran ini”.

SOAL ARGUMENTASI  FOTOGRAFI YANG BELUM SETARA SENI LUKIS  

Sepanjang yang saya tahu, salah seorang kurator pameran tersebut memang paling ngotot tentang keberadaan seni rupa fotografi dan video. Dalam hal ini, saya pikir sih bagus-bagus saja, apalagi dia memang dikenal sebagai pengumpul karya-karya fotografi dan video dari seniman Indonesia, dan menulari rekan-rekannya. Sekali lagi, semua itu baik-baik saja adanya.

Tapi, bila dia berlagak seolah-olah tanpa dia, fotografi dan video tak akan bisa jadi juara di sebuah festival, dan tak akan diapresiasi orang, tak ada yang mau menguratorinya, sehingga  dia bersedia menjadi “kurator sehari” karena “fotografi belum mendapatkan apresiasi yang setara dengan karya seni lukis”; itu merupakan pernyataan yang membodohi kecerdasan publik. Kita ambil contoh, seniman video Krishnamurti dihargai keberadaannya secara lokal, regional, dan mulai merintis ke arah global –jauh sebelum “kurator tabrak-lari dan plin-plan” itu (istilah sekolahannya telah disampaikan oleh saudara Wahyudin: “contradictio in terminis”) pulang dari luar negeri.

Selanjutnya, dia ngeles dan berkilah lagi bahwa bagaimanapun pamerannya toh dikunjungi 300-an pengunjung dan penjualannya sangat sukses. Dia lupa: kalau kita bekerja, orang lainlah yang berhak menilainya.

Sementara itu, fakta-fakta di belahan dunia manapun menunjukkan bahwa  hingga sekarang, lukisan tetap mendominasi art market, sementara fotografi di Eropa dan Amerika Serikat cuma memperoleh kue 1,6%, dan di Asia 0,2%. Apalagi fotografi, patung pun di Eropa dan Amerika Serikat hanya memperoleh bagian 6,5% (sementara lukisan 44,3% dan drawing 21,8%) dan Asia hanya 2,3%. Adapun di art market China, khususnya, lukisan sangat mendominasi – baik lukisan tradisional (51,1%) maupun lukisan modern dan kontemporer (8,8%)—  dan fotografi serta video baru masuk dalam kategori “others”.

Seniman kontemporer yang karya fotonya pernah paling mahal, Richard Prince, pencapaian harga tertingginya (hammer price US$ 3.000.000) terjadi di tahun 2007, tahun booming seni rupa kontemporer. Itupun di urutan ke-13 karyanya yang termahal. Peringkat pertama hingga ke-12 dicapai oleh karya lukisnya. Puncak pencapaian harga karya-karya seniman fotografi ternama rata-rata memang terjadi ketika booming seni rupa kontemporer (sekitar 2007-2008): selain Richard Prince, adalah William Eggleston (US$ 840.000), Gregory Crewdson (US$ 140.000), Robert Polidori (US$ 45.000),  dan Michael Wolf (US$ 21.900). Setelah krisis finansial global hingga kini, harga mereka melorot, bahkan sering “not sold”.

Jadi, kalau pameran fotografi seni yang dikuratori kolektor fotografi itu dinyatakan oleh dirinya sendiri bahwa “penjualannya sangat sukses”, kita mesti mengucapkan syukur alhamdulillah –semoga di hari lain dia tidak ngomel dan mengutuk lagi: bahwa “fotografi belum mendapatkan apresiasi yang setara dengan seni lukis” di dalam masyarakat seni rupa kita  –tidak seperti di Barat.

Lalu memuja membabi buta “asal fotografi dan video” dan dengan membabi-buta pula menganggap lukisan sudah “kuno”. Padahal, kalau senimannya kreatif, lukisan juga bisa bagus dan kontemporer (lihat misalnya lukisan kontemporer Zheng Fanzhi, Zhang Xiaogang, Fang Lijun, Yue Minjun, yang berhasil menyumbangkan “cynical realism” dalam perkembangan genre realisme dunia, sehingga masyarakat seni rupa mengapresiasinya, dan harganya pun mengikutinya). Sementara fotografi, video, atau instalasi (meski medianya baru) toh bisa bernilai gombal dan kuno, sehingga ibarat pisang, dia pisang busuk. Silakan saja digoreng dengan minyak dan tepung yang luar biasa bagusnya, dia akan tetap menjadi pisang goreng dengan rasa busuk. 

Dan, mari kita ingat, dulu kita punya pelukis yang “penjualannya sangat sukses”. Lantaran bukti itu, kita menyebutnya pelukis hebat. Namanya saja mirip suka-dana. Tapi kini ke mana pelukis hebat itu? Tirai diturunkan. And the rest is silence.

SOAL PERGURUAN TINGGI KURATOR

Ada lagi argumentasi carut marut yang diuarkan oleh Tokoh Kita ini. Agar mendudukkan dirinya setara dengan para kurator lain, dia menyatakan bahwa “hampir” (bukan hampir, tapi “memang semua”) semua kurator di Indonesia tidak mempunyai pendidikan sekolah tinggi sebagai kurator. Sama seperti dirinya –apalagi pendidikan tinggi kurator, pendidikan tinggi seni rupa pun tidak. Menurut saya, pendidikan itu bisa oto-didak, bisa formal-didak.  Dan yang penting di sini, masih menurut saya, bukan OTO atau FORMAL-nya, tapi DIDAK-nya. Oto-didak kalau tidak “didak” yang tinggal oto-nya. Begitu pula formal-didak, kalau tidak pakai “didak”, ya tinggal “formal”-nya. Jadi Oto dan formal itu kalau tidak pakai “didak”, ya sama-sama tolol dan dungunya.

SOAL HUBUNGANNYA DENGAN INFRASTRUKTUR

Fenomena lain yang menggejala dalam masyarakat kita adalah hilangnya raison d’etre. Antara lain, seorang presiden bukan lagi pemimpin bangsa,  anggota DPR bukan lagi wakil rakyat, guru bukan lagi pendidik, rumah sakit bukan lagi rumah agar pasien segera pulih kesehatannya, dan seterusnya. Dan ini menjalar hingga ke dunia seni rupa.

Kolektor besar bisa sekaligus menjadi art dealer. Lalu mendirikan museum yang kehilangan raison d’etre-nya, karena dalam kenyataannya museum itu tinggal nama, sementara yang dipraktekkan adalah tak lebih dari galeri berukuran fisik besar. Termasuk kolektor (yang diam-diam nyambi jadi art dealer) sehingga merasa akan lebih gampang lagi menjual bila dia juga bisa menjadi kurator, (kiranya bermotivasi untuk membodohi lebih jauh para koleganya).

Muncul kolektor, seniman, kurator, art dealer, galeri, balai lelang yang berambisi menguasai hilir hingga hulu. Semua peran kalau bisa di tangan satu orang atau sebuah kartel. Ada seniman yang berkarya bukan berlandaskan pada gagasan-gagasan kreatifnya, tapi untuk menstabilkan harga karyanya berdasarkan hukum penawaran-permintaan, sehingga dia berkarya hanya agar cukup untuk mensuplai dua balai lelang terkenal. Tak perlu berpameran. Dengan begitu, kesenimanannya telah bercampur dengan kepentingan dirinya sebagai pedagang. Ada balai lelang yang agar tidak terganggu dalam melelang barang-barang palsu, berusaha membesar-besarkan sebuah kasus yang memojokkan seseorang sebagai pimpinan kartel perdagangan barang palsu, dan berusaha membentuk opini publik bahwa merekalah yang paling ahli dalam menentukan asli-palsunya sebuah karya. Sikap sok tahu (mending kalau memang benar-benar tahu) dari hulu hingga hilir, sambil melecehkan keprofesionalan orang-orang di bidang lain dalam medan seni rupa, juga menjadi penyakit akut yang akhirnya merusak sendi-sendi infrastruktur yang telah ada.

Dan banyak hal lain lagi, yang berkaitan dengan kondisi infrastruktur seni rupa kita, yang lebih penting untuk didiskusikan secara serius dan mendalam. Untuk itu, saya termasuk yang tidak bersetuju untuk melanjutkan diskusi tentang seseorang yang banyak tingkah seperti buto-cakil semata-mata agar cepat populer. Lebih baik kita mendiskusikan hal yang bermanfaat bagi dunia seni rupa Indonesia seutuhnya: yakni mencari upaya agar tiang-tiang rumah kita berdiri tegak sama kuat sehingga bisa menopang bangunan dengan kokoh, dan tidak malah membuatnya mirang-miring, malang-megung.***


Hajriansyah, Pengamat Seni Rupa, tinggal di Yogja dan Banjarmasin (13/5’13)

Saya kira salah satu keniscayaan “hari ini” adalah mencairnya batas atau sekat, atau lebih jauh otoritas, yang menjadi ciri kemodernan itu. Dalam kaitannya dengan “Kolektor Menjadi Kurator”, saya kira ini hanya sebuah “eksperimen”, atau katakanlah “tantangan” sebagaimana tersirat dalam cerita “belakang panggung” Wahyudin dalam “Menerabas Batas (Respon untuk Wiyu Wahyono)”.

Saat “belajar jadi kurator” beberapa waktu ini, saya berkali-kali mendapati curhat kawan-kawan perupa (kebanyakan di Jogja) terkait peran kurator yang “sekadarnya” saja bagi mereka. Alih-alih mengakomodir gagasan visual para perupa, beberapa kurator lebih senang “berakrobat” sendirian tanpa empati, dan tentu juga tanpa amatan yang serius, terhadap karya dan sekalian perasaan/ pikiran para perupa. Ketidakpuasaan itu ternyata juga menggelisahkan beberapa kolektor yang tertantang ini.

Ihwal “kontemporer”, meski, tentu, memiliki episteme-nya sendiri, bagi saya hanyalah sebuah “masa” transisi. Sarat dengan eksperimentasi, namun minim eksplorasi yang mendalam. Pada saatnya, orang-orang akan merekonstruksi bangunan yang dibayangkan hancur itu. Sampai institusi-institusi (baca juga: otoritas) “resmi” mau meluaskan kembali peran mereka, menurut saya, baiknya kita tunggu saja ulah kreatif para kolektor yang pengin jadi kurator ini. Toh, kita bisa mengapresiasi tulisan kurator “yang sekadarnya” itu selama ini, dan mau membayarnya.

Saya bisa menerima ulah kurator dadakan ini seperti halnya saya mesti lega-lila pada keinginan para selebritis infotainment dan para pengusaha yang berbondong-bondong mendaftar ke KPU itu. Toh, berdasarkan kenyataan sebelumnya, banyak juga mereka yang terbukti “dapat” mewakili kita di DPR.

Tentang “Seni Rupa Indonesia”, saya kira ia memang mesti berjuang lebih keras, tidak sebatas di panggung-panggung pelelangan, atau di pusaran pasar dan wacana di titik-titik tertentu. Ia menanggung beban berat di belakang namanya (baca: Indonesia), maka ia harus didesiminasikan ke penjuru-penjuru yang ramai. Kalau tidak mau atau tidak mampu, lebih baik dibaca “Pasar Seni Rupa” saja, atau “Seni Rupa Jogja” atau “Seni Rupa Jakarta” saja, dst.

- Hajriansyah, penulis, tinggal di Banjarmasin***

Chusin, Perupa (13/5’13)

Sy hanya pesan singkat saja bahwa Kurator adalah sebuah predikat yg profesional, bila ada pihak lain yg hendak melakukan peran aksi seperti kurator, itu sah2 saja, hanya istilahnya hrs dicari lagi yg lbh tepat. Infrastruktur hrs dibangun secara benar bukan malah membingungkan. 
Chusin***



Edo Pillu, Perupa (15/5’13)

YTH Pak Hendro 
ini komentar saya ,, Peace

Perhelatan " pameran " , biasanya dengan mudah kita menyimpulkan kadar intensi yang dikehendak , ia bisa menjadi peristiwa budaya yang heibat atau peristiwa ekonomi yang heibat pula , kadang keduanya sama2 tidak heibat , bisa menjadi apapun .

Mimpi besar bersama ttg seni rupa indonesia , seniman yang kuat , kuratorial yang mencerahkan , kritik yang tajam , Galeries yang handal , art dealer yang piawai , akademisi seni rupa yang berwibawa , segala stake holder yang penuh cinta dan mempertimbangkan kecemerlangan jangka panjang , ini bukan utopia ... bisa di galang ... mematuhi rambu2 demi cinta akan masa datang SRI nan elok ( ckckckckc ) heheheheh, saling memberi input , menghindari keterpecahan , mungkin ini penting untuk masyarakat senirupa kita yg berjumlah kecil .

Tentang new media art yang gencar di wacanakan tentu saja itu hal menggembirakan , namun agenda lain nya dalam perhelatan , semoga mendukung cita2 masa depan SRI yg Heibat , bukan pelemahan , jika belum benar , maka mari berterima kasih pada sahabat yg peduli dan berwawasan yang mau mengajak kita pada track yang keren dan membanggakan .

Mari bersama kita berangkul mewujud mimpi 
edo pillu al/ edward  
Indonesia***


AFNAN MALAY, Pengamat Seni dan Advokat (15/5’13)

Kolektor Jadi Kurator: Kenapa Diributkan?
Dari sejumlah komentar, sebetulnya, sudah jelas duduk soalnya.  Artinya, tersimpulkan banyak hal namun dari banyak hal itu ada yang perlu dicetak tebal. Secara umum yang dicetak tebal tersebut bagian dari “kebersepakatan kita”. Tentu, anda bisa menyimpulkan-nyimpulkan apa yang saya maksudkan sebagai kesimpulan-kesimpulan yang bercetak tebal.

Okelah, kita kategorikan kurator itu sebagai sebuah profesi (tukang ojek pun sebutannya sekarang juga profesi, konon ibur rumah tangga pun minta diakui sebagai profesi). Ibu rumah tangga kalau dikaui sebagai profesi pastilah satu-satunya profesi yang akibat pekerjaannya jelas-jelas tidak ada profitnya: dalam hal ini definisi profit tunggal, yaitu kontraprestasi berupa uang.

Kembali soal kurator, tapi serta merta kita dihadapkan pada kenyataan bahwa  “profesi kurator” tidak tepat betul bila kita samakan dengan profesi dokter, notaris, akuntan, advokat, ataupun dosen.  Bisa karena disebabkan kurator tidak didesain sebagai produk dari sekolah formal, sekalipun, tutup mata saja mayoritas mereka berlatar pendidikan seni rupa. Kalau dibilang “rangkap profesi” atau “lompat-lompat” jelas paling aman adalah dosen: dokter-dosen, notaris-dosen, akuntan-dosen, advokat-dosen, bahkan dosen-kurator-perupa sekaligus. Bisa juga karena profesi-profesi yang lain itu dipayungi organisasi sehingga tidak mudah menyamakannya dengan “profesi kurator”. Terlebih lagi bila kita hadapkan apa kategori fungsional bila kita letakkan kepada kurator (sekaligus bayangkan penggunanya/penerima manfaat atau dalam bahasa umum yang bukan bahasa kita, yaitu usernya)’

User dosen ya mahasiswa, user notaris ya pembuat akta otentik, user akuntan ya pembutuh audit, user dokter ya pasien, user advokat ya klien. Lalu siapa user para kurator? Pemilik galeri kah? Perupa yang dikuratori kah? Calon kolektor kah? Mereka yang diharap membeli karya kah? Publik penikmat seni (apresian) kah? Atau mereka semua sekaligus secara bersama-sama kah?  Pada tahap ini saja, siapa user para kurator, pintu perdebatan sudah bisa dibuka.

Implikasinya, kurator pada batas tertentu ruang cair. Tapi secair-cairnya mayoritas kurator adalah mereka yang berlatar pendidikan seni rupa. Mayoritas ya tidak semua. Ada Sindhunata yang teolog, misalnya ada Wahyudin yang ilmunya teologi dilanjutkan antropologi (tesisnya soal seni rupa). Saya juga pernah beberapa kali jadi kurator pameran untuk Galeri Langgeng, Galeri Canna, Galeri Apik. Sekalipun ada galeri yang ingkar janji secara telak (sudah bikin MoU dengan saya dan Wahyudin baik kurator tunggal dan bersama-sama, termasuk MoU dengan para perupa). Hehe saya yang pegang kartu advokat saja (peradi) dikibulin galeri.

Karena saya tidak dari semula menerjuni profesi kurator, pasti ada motif tertentu sehingga mau terlibat pada urusan kuratorial. Setidaknya asumsi seperti sulit ditepis. Ya, banyak kawan-kawan yang jengkel terhadap galeri yang sering kali cidera janji merugikan para perupa bagian dari motivasi yang saya emban. Saya diharapkan bisa ikut membela kepentingan mereka. Saya berani karena saya pernah belajar seni rupa seangkatan Eko Rahmy, Bayu Wardhana, dan Nasirun (ketika SMSR Jogja masih di Karang Malang, kloter terakhir sebelum boyongan ke Bugisan). Waktu itu kami sempat demo dengan tema seniman kok diseragamkan (kalau tidak salah untuk pertama kali anak-anak SMSR diwajibaknpakai seragam putih abu-abu).  Saya berani jadi kurator, juga karena mengenyam pendidikan seni rupa (persisnya jurusan seni lukis) sekelas-seangkatan dengan Dipo Andy, S Teddy D, Pande Ketut Taman, Didik Nurhadi, Diah Yulianti, Yerry Pe, Aan Arief, Kadafi G Kusuma, dan Laksmi Sitharesmi (waktu masih jurusan kriya). Saya berani jadi kurator, karena ketika jadi jurnalis secara berkala saya menulis pameran dalam rubrik Rupa Karya (Majalah Mingguan UMMAT)  di antaranya pameran H. Widayat pasca merapi meletus (cat air yang yahud), pameran Bonyong Muni Ardhi, Pameran Mulyono, pameran Nasirun, Pameran entang Wiharso, pameran kawan saya waktu di KBS (Kelompok Bulak Sumur,  Hanura Hosea), pamaran Mella Jaarsma, pun Bunga Jeruk (di ndalem Probosutedjan) dan lain-lain. Tapi UMMAT bukanlah TEMPO, hehe. Karenanya, anda sekalian pasti lebih kenal Raihul Fadjri, hehe lagi.

Ternyata, setelah saya melibatkan diri masuk ke seni rupa : para perupa juga tidak berani berhadap-hadapan dengan galeri. Takut, hari ini protes besok tidak diundang pameran atau bahkan didaftarhitamkan oleh semua galeri. Saya bukanlah hero yang dapat menenangkan mereka. Ketakutan adalah hak asasi juga (hehe), saya hormati kondisi yang dialami sebagian perupa. Mengormati mereka tetapi tidak respek dengan kondisi yang menimpa mereka.

Diterima kah saya dalam jagat seni rupa bukanlah pertanyaan penting. Faktanya adalah saya tidak ditolak, seperti penyair Afrizal Malna yang juga tidak ditolak. Lalu kenapa Wiyu Wiyono menjadi sesuatu yang kontroversial: “kurator yang tertolak”? Pasti, karena predikatnya dalam seni rupa yang jelas-tegas sebagai kolektor. Dalam konteks kontroversi itu Romo Sindhu yang teolog, Afrizal yang penyair, dan Afnan bukanlah siapa-siapa. Kami tidak akan “mengganggu apa pun atau siapa pun”. Tetapi Wiyu lain, karena predikatnya sebagai kolektor secara wacana saja hal itu sudah “mengusik kalau bukan mengganggu”. Apakah ini diskriminasi, jelas bukan: itu adalah realitas yang kita hadapi.

Sebagai kolektor terbuka kemungkinan Wiyu untuk “merusak” gelanggang seni rupa ketika ia tergoda menjadi kurator sekalipun “kerusakan yang dilakukannya” belum tentu/dan atau akan ada.

Dalam bahasa Jawa mungkin padanannya ora ilok dalam bahasa akademis tidak etis. Ora ilok atau tidak etis itu substansinya terletak pada apa yang dilakukan seseorang bukan pada akibatnya. Jadi Wiyu melakukan sesuatu yang ora ilok yang tidak etis. Manusia berkeadaban atau manusia dewasa paham betul sesuatu yang ora ilok yang tidak etis, ada atau tidak konsekuensinya: tidak semestinya dilanggar. Intinya, sama sekali tidak penting apakah karena aktivitasnya yang ora ilok dan tidak etis itu ia telah merusak dunia seni rupa atau tidak (belum). Terhadap yang ora ilok yang tidak etis sangatlah jamak ada atau banyak yang menjadi gerah karenanya. Karena itu terjadilah resistensi .

Saya berharap kasus ini membuat banyak pihak berkaca diri juga: ya kurator, ya galeri, ya dealer, siapa pun. Kalau para perupa ngaca gak ngaca, tetaplah berkarya: hehe, hoho pun oke…***


Vivi Yip, Pemilik Galeri (15/5’13)

Dear Pak Hendro,

Salah satu artis peserta pameran adalah Agan Harahap yg di request oleh Wiyu Wahono. Agan adalah seniman yg bergabung dalam viviyipartroom. Dan saat Leo approach saya ttg pameran ini, yg akan dikurasi 3 kolektor yg masing2 memilih seniman yg ingin diajaknya bertukar ide (tango). Saya anggap pendekatan ini sbg ide menarik, seksi dan unik.

Hasilnya juga sama sekali jauh dari mengecewakan, mereka sukses ber tango dengan masing2 seniman pilihannya. Mereka menulis dengan bahasa yg mereka pahami, jadi lebih mudah dicerna para penikmat seni lain tanpa teori dan kata2 kompleks yg lebih sering membingungkan daripada menjelaskan makna pameran apalagi maunya seniman.

Karya dan cara presentasi pun menyegarkan. Bravo Leo, Arief, Paula dan Wiyu! 
Ini dari saya Pak Hendro, semoga bisa diterima dengan baik. Salam. 

Vivi Yip***


Junaidi Januar, Kolektor di Bali (15/5’13)


Kepada Pak Hendro yg saya hormati, diera Demokrasi spt saat ini,apalagi Infrastruktur SRI blm terbentuk. Maka dari itu sah sah saja, apabila peristiwa Kolektor menjadi Kurator. Selama yg bersangkutan memegang Teguh Integritas dan Profesional dalam menjalankan fungsinya. Kita punya banyak ahli dan Pecinta seni di Indonesia. Tapi kita butuh seorang Dirigen yang Piawai utk MERACIK ide/ masukan dari semua Insan pecinta seni di Indonesia. Untuk dijadikan Pedoman / Landasan terbentuknya Infrastruktur SRI dikemudian hari. Sekian input dari saya. Semog bermanfaat.
Salam Hormat

Junaidi Januar***



Yuswantoro Adi, Perupa, Penulis (16/5’13)

Jika Kolektor Jadi Kurator, Lalu Siapa Jadi Koruptor?
Oleh: Yuswantoro Adi

Sudah agak lama memang, saya pernah menuliskan tentang definisi kurator, praktik kuratorial dan bagaimana sebaiknya profesi atau pekerjaan itu di(per)lakukan. Dan tulisan itu sempat dimuat di sebuah koran nasional (Kompas Minggu, 18 september 2011) sebagai reaksi atas tulisan Aminudin Th Siregar pada minggu sebelumnya. Kali ini pak Hendro Tan mengirim sms meminta saya memberi tanggapan menyoal “Kolektor menjadi Kurator”. Tentu akan menjadi sangat mudah sekaligus tidak bermartabat jika saya sekadar mengulang apa yang pernah tertulis itu dan sedikit membumbuinya.

Pilihan kata ‘bermartabat’ menjadi penting karena sesungguhnya urusan kolektor memaksakan diri menjadi kurator ini lebih menyangkut urusan moral, setidaknya tatakrama alias adab, ketimbang hal serius lainnya. Berbagai uraian tentang kata yang keduanya berawalan dengan huruf ‘k’ dengan akhiran ‘tor’ tersebut telah banyak dijelaskan secara rinci oleh penanggap/penulis sebelum saya. Beberapa sudah tepat merumuskannya lengkap dengan argumentasi berkualitas baik sembari menyebutkan nukilan penguatnya. Beberapa yang lain agak emosional –adakah disebabkan oleh faktor konflik kepentingan?—membela salah satunya sambil menjatuhkan lawannya. Beberapa lagi normatif, sinis, biasa, lucu, gak jelas, justru semakin bikin bingung dan seterusnya. Meski ia (polemik atau apalah namanya itu) bergulir lumayan panas semenjak akhir bulan kemarin.

Oke, kembali ke soal adab, kesopan-santunan a.k.a etika. Sebelum saya bertanya; apakah etis atau tidak seorang kolektor menjadi kurator? Mari kita sesuaikan terlebih dahulu pemahaman kita akan konsep etika yang melekat pada kolektor dan kurator. Secara sederhana, seseorang disebut sebagai kolektor manakala ia memiliki sesuatu yang dikoleksi. Sampai di kalimat ini, urusan etika belum menjadi urusan sama sekali. Anasir etika baru dapat kita temui dari melacak tentang bagaimana ia mendapatkan, apa yang dikoleksi dan seperti apa memperlakukan koleksi  serta segala sesuatu berkaitan tentang pengkoleksian tersebut. Mencuri (atau menggunakan uang curian, meski sebenarnya bukan urusan kita) adalah tidak etis maka ketika koleksi didapatkan dengan cara-cara di luar etika normatif (menekan, menipu, memperdaya, melanggar hukum dst) menjadi kegiatan pengkoleksian yang tidak etis pula.

Sesuatu yang tidak pantas atau melukai nilai moral/agama/kepercayaaan/adat tertentu, palsu,  tiruan dan atau hal serupa jahatnya, benda/artefak/sejenisnya yang seharusnya menjadi milik sebuah sejarah/peradaban/kebudayaan suatu bangsa/negara jika dipaksakan menjadi koleksi pihak yang tidak berhak maka disebut tidak etis. Memperlakukan tidak semestinya (merusak, membakar, memanipulasi, merubah dengan tujuan tidak baik dst) benda koleksi, meski boleh dan sah-sah saja --toh itu koleksinya sendiri-- tetap saja  tidak memenuhi kaidah etika.

Minimal ada tiga kode etika  yang harus dipenuhi oleh seorang kolektor, yakni; Love, Respect dan Value. Alasan utama seseorang berkeinginan memiliki, pasti karena rasa cinta, setidaknya suka dengan apa yang belum dipunyainya itu. Rasa inilah membuat seseorang berani membayarkan waktu, uang, tenaga, pikiran  dan apapun demi memilikinya. Sikap hormat, menghargai  yang menjadi miliknya adalah keharusan selanjutnya. Karena apa gunanya punya sesuatu hanya untuk disia-siakan? Dengan  kata lain merawat, menjaga, mengamankan dan semacamnya bukan sebuah beban meliankan kenikmatan tak tergantikan. Kemudian ia ingin yang dimilikinya adalah bernilai. Silakan maknai nilai dengan pendekatan ekonomi, kebudayaan atau apalah sesukamu. Urutan dan uraiannya mungkin tidak sesederhana paparan saya ini, namun satu hal yang pasti,  diperlukan etika –bila  perlu dengan standar tinggi—untuk menamai seseorang dengan sebutan kolektor.

Sengaja saya menguraikan panjang lebar soal yang satu ini, karena begitu mudahnya orang mengaku kolektor. Punya satu koleksi saja sesungguhnya sudah cukup dan boleh disebut. Namun punya sangat banyak koleksi tanpa punya etika atau apalagi melulu bersandar pada motif ekonomi belaka, merupakan kebohongan besar bagi saya untuk menyebutnya  layak kolektor.

Hal serupa berlaku juga utuk kurator, bahkan bukan kebetulan jika kolektor dan kurator punya kesamaan etika pada seluruh bagiannya. Yang membedakan keduanya adalah kode Love untuk kurator tidak harus memiliki. Rasa cintanya setara, tapi titik berat untuk seorang kurator adalah perhatian, pengertian, pemahaman. Dengan demikian maka pengetahuan atas apa yang dicintainya menjadi bentuk ungkapan terbaiknya. Bentuk Respectnya adalah pertanggungjawaban terhadap pengetahuan yang telah diungkapkan di muka sebagai tanda ekspresi cintanya. Menengarai, menandai, memperjelas. mempertegas sekaligus (jika perlu) menambah Value adalah tugas utama seorang Kurator.

So, ketika sekarang saya bertanya atau lebih tepatnya mengulang pertanyaan; “Apakah etis serang kolektor menjadi kurator? …Saya berharap Anda sudah bisa menjawabnya.

Terakhir, setiap profesi punya kode etiknya tersendiri. Jika etika berjarak, terlebih sengaja dipisah atau dilepaskan maka apapun pekerjaanmu bisa dipastikan bukanlah sesuatu yang pantas dibanggakan. Tidak wajib untuk dihormati, boleh kau cibir sebagai tidak bermartabat. Dua profesi K….tor,  ialah Kolektor dan Kurator dijamin akan menjadi Koruptor ketika tidak, belum atau lupa nyunggi (bahasa Jawa: membawa sesuatu dengan meletakkan di atas kepala) etika. Percayalah,  yang kalian lakukan tidak lebih dari manipulasi kotor!!!!

Yogyakarta, 16 Mei 2013
Yuswantoro Adi
Penulis adalah pelukis yang menulis***


Carla Bianpoen, Pengamat dan Jurnalis Seni (16/5’13)

Perlu juga dicatat komentar DR Oh Soon Hwa pada pembukaan pameran di Umah Seni. DR Oh adalah Associate Professor di NTU Singapore.

Selain itu ia juga pelaku photography yang aktif berpameran internasional. Ia juga Kurator photography yang sebagai profesional aktif, antara lain dalam ajang Singapore International Photography Festival (SIPF). 

Ia datang ke Jakarta atas undangan khusus dari kolektor yang menjadi kurator. DR Oh mengingatkan akan resiko "Conflict of Interest". Mau nga mau, sadar atau tidak, disengaja atau tidak, resiko itu sudah inherent kalau kolektor menjadi kurator.

- Carla Bianpoen, pengamat dan jurnalis seni***



Oei Hong Djien, Kolektor, OHD Museum (17/5’13)

Apakah kolektor merangkap kurator dibenarkan? Kalau tidak, bagaimana kalau ada kolektor yang ingin jadi kurator karena ingin mengembangkan dan memperdalam wawasannya tentang seni? Apakah ia harus melego koleksinya? Bagaimana kalau si kolektor sangat sayang dengan koleksinya sehingga tak dapat berpisah? Apakah ia harus mengurungkan niatnya?

Menjadi kurator tentu harus belajar dulu untuk mendapatkan ilmunya. Belajar bisa di sekolah atau luar sekolah  yang disebut otodidak. Ada otodidak yang sangat pandai di bidangnya dan tak kalah dengan lulusan sekolah.

Saya setuju dengan pemberi komentar sebelumnya bahwa mutu kurator dinilai dari hasil kuratorialnya. Bila hasil karyanya bagus sehingga bermanfaat bagi SRI dan niatnya baik, tak perlu di permasalahkan. Masalahnya timbul bila ada agenda lain yang tersembunyi.

Magelang, 16-5-2013.
Oei Hong Djien, OHD Museum***


Agus koecink, Dosen dan Kurator (17/5’13)

Tanggapan atas kolektor yang curator

Berdasarkan pengalaman  mendampingi beberapa kolektor maupun art dealer dalam mencari bibit-bibit baru perupa muda untuk dipamerkan digaleri ada beberpa pengalaman yang tercatat dalam buku harian pribadi tentang seni rupa  sebagai sebuah catatan khusus tentang peran kolektor dalam pemilihan karya seni rupa.

Catatan yang pertama kolektor yang sudah melalang buana ke berbagai negara dan banyak melihat perhelatan baik itu art fair maupun pameran-pameran semisal Biennale, triennale,dokumenta, dan lainnya. Memang mempunyai wawasan khusus terutama perkembangan terakhir seni rupa akhir-akhir ini, dalam posisi perannya untuk memilih karya seni sebagai koleksi pribadi kolektor berhak untuk memilih dan memaknai berdasarkan ide awal dari sang pencipta karya.

Kalau perannya sebagai kurator memang perlu mendapatkan perhatian khusus sebab menyangkut pengkurasian yang melibatkan berbagai keilmuan agar proses pengkurasian mempunyai dampak berdasarkan target yang hendak dituju. Terserah apakah targetnya nilai ekonomi atau isu-isu untuk menumbuhkan spirit tertentu berdasarkan grand design dalam kurun waktu tertentu.

Peran kolektor menjadi kurator tetap perlu untuk mendapatkan pendampingan ilmu yang lainnya agar capaian dari konsep yang ditawarkan sang kolektor yang berubah menjadi kurator dalam waktu tertentu bisa tetap berdampak bagi masyarakat seni.

Peran Kolektor yang berubah wujud menjadi kurator agar tidak dimaknai yang keliru oleh kalangan tertentu maka tetap membutuhkan pemikiran keilmuan yang sesuai dengan konsep kurasi agar sang kolektor yang kurator tidak dicurigai sebagai media pengesahan dalam pameran dalam bentuk tulisan kuratorial.

Ada kolektor yang memilih dan menyiapkan jago-jagonya untuk dipamerkan lalu menyiapkan sang kurator untuk menulis kehebatan jago-jago itu agar mempunyai nilai lebih dibandingkan dengan yang lainnya.banyak persoalan dalam dunia seni rupa Indonesia salah satunya kolektor yang berubah wujud menjadi kurator dan itu sah-sah saja asal keberubahannya konsisten betul-betul untuk mendorong perkembangan seni rupa di Indonesia dan tidak mematikan daya ekspresi yang dimiliki oleh kreator.

Dalam catatan harian pribadi, saya menulis penulis, dosen, kritikus, wartawan, ahli sejarah, sastrawan, kolektor, kolekdol bisa berubah menjadi kurator karena situasi dan kondisi tertentu. Itulah realitas dinamika seni rupa di Indonesia. Semoga tulisan pak Hendrotan bisa didiskusikan lebih lanjut agar menjadi sebuah ilmu pengetahuan baru bagi masyarakat seni di Indonesia. salam

Agus koecink, Dosen dan Kurator***



Ivan Hariyanto - Perupa, Eksponen PIPA 1977, Penggagas Jatim Art Now (17/5/13)
           
Berbagi sikap, tanggapan, ide dan gagasan dalam alam demokrasi sangat diwajibkan dan keberadaannya harus kita hormati agar tak menemui benturan-benturan. Namun jangan dengan alasan ‘berjalan’ diatas rel demokrasi, lantas  menampik apa yang namanya etika profesional.
           
Petani itu profesinya ya mencangkul atau hidup dalam alam pertanian, nelayan itu profesinya ya mencari ikan, bengkel mobil itu profesinya ya membetulkan kendaraan bermotor, supir itu profesinya ya mengendarahi kendaraan, pengadilan itu profesinya ya menegakkan hukum, rumah sakit itu profesinya yah ngurusi pasien dan segudang lagi peribaratannya. Mereka itu ‘tak boleh’ menerobos, apalagi ‘menerabas’ profesi yag satu dengan profesi yang lain, parahnya sekarang ini (di SRI) terjadi paradigma saling merasa benar. Tetapi, kalau mereka serius menerobos, menerabas atau istilah kerennya transfunction tentu yang harus dilakukan adalah belajar dulu untuk memperkaya pengetahuan dan memperdalam ilmu pada bidangnya agar mumpuni dadi wong (jadi orang). Perlu diketahui bahwa piranti dan infrastruktur SRI (kolektor seni, kurator. seniman, art dealer, museum seni, galeri, balai lelang seni, media) keberadaannya sudah ‘mendekati’ lengkap di negeri ini.
           
Menyikapi kolektor yang menjadi kurator.....hmmm.... Ini sama saja dengan cita-cita siswa mau menjadi dosen. Sama saja dengan cita-cita seorang pemain pasar senirupa mau menjadi peneliti nilai investasi global dan nilai pokok pemberdayaan saham internasional.

Kepada teman-teman yang sudah dan akan menanggapi persoalan W W dan cs nya sudahlah.....apapun alasannya... suka atau tidak suka, para tengkulak-tengkulak tsb. (yang ngakunya young collector group) atau art dealer atau konsultan senirupa selama ini mereka menyikapi profesionalisme dengan membenturkannya ke persoalan demokrasi, apa pasalnya ? belum lagi suara sumbang mereka yang menuntut keberadaan orang di TKP baru layak bicara nilai, dan sah mengeritik atau menanggapi sebuah peristiwa, sudah bodohnya ngepol / mentok hingga jadi gilakah lu lu ini ?

Kembali pada kolektor, sejogjanya kolektor mempunyai value dan artistik yang tinggi (tersendiri) terhadap koleksi-koleksinya, alih-alih memperjuangkan Infrastruktur Sri dan alur lintasnya; ternyata cuap-cuapnya untuk menjual karya sembari memunculkan diri sebagai kurator dadakan (mungkin saja, agar dipercaya kolega lalu laris dagangannya).
           
Atau dengan perlakuannya akan ‘membuat sejarah’, karena pernah menampik dan meragukan  adanya sejarah seni rupa di Indonesia ?
           
Oh ngelindur ... (tidak sadar)
Kalau akan melahirkan (apalagi membuat) sejarah, belajarlah dari Persagi, SIM, Sanggar Bambu, GSRB, PIPA...karena gerakan dan pikiran  mereka sesuai dengan jamannya!.

Oh mimpi.....
Sudahlah..Demi Tuhaaaaannnnnn mu!! (kata Arya Wiguna nih..)
           
Ujung-ujungnya yah mencari untung saja bertopeng.....Parahnya nih,  ‘keuntungan’ yang diperoleh bukannya untuk membangun infrasturktur SRI agar semakin solid...tapi malah tambah memper‘parah’.
           
Atau, kalau ingin men’cerdas’kan pikiran-pikiran SRI, dapatkah dimulai dari sekarang ? atau mengandalkan young collector yang merangkap art dealer, dasar bulukan lu lu ini.

Salam.***









Tidak ada komentar:

Posting Komentar