Selasa, 11 Juni 2013

Dialog SRI

SMS kesatu dari Pak Wiyu : tgl. 10 Juni 2013

Dear Temans,
THIS WEEK ART ACTIVITIES
Senin, 10 Juni, 09.30,

Diskusi “Eksistensi  . . .

Pecinta seni di luar Indonesia hanya tertarik dengan SENI RUPA Indonesia, bukan dengan issue-issue negativ tentang infrastruktur seni rupa Indonesia. Jika kita bicara tentang seni rupa Indonesia ke orang luar, kita tidak perlu merasa hebat dengan kemampuan kita mengkritik kondisi di Indonesia. Mereka TIDAK tertarik dengan thema itu ! <wiyu bb pin 2634919C>

SMS kedua dari Pak Wiyu : tgl. 10 Juni 2013

Ibarat kita buka baju dan celana dihadapan orang asing untuk memperlihatkan kudis, kurap dan bisul bernanah di kulit kita. Apakah mereka suka ?***


Menjawab SMS Pak Wiyu

Di masa lalu, kita mengenal corak lukisan Mooi Indie. Pelukis besar Sudjojono (1946) menyebutnya sebagai lukisan yang “serba bagus dan romantis bagai surga, semua serba enak, tenang dan damai”. Persoalan jadi serius tatkala lukisan Mooi Indie menggambarkan dusta atau kebohongan tentang realitas kehidupan sehari-hari di Indonesia.

Karena itu, Sudjojono begitu keras menolak lukisan Mooi Indie—Dan menawarkan apa yang disebutnya “kesenian jiwa ketok”—kesenian yang memperlihatkan jiwa seniman yang tergurat dalam karya seni tentang alam pikiran dan keadaan masyarakat yang sebenarnya atau nyata.   

Dengan ilustrasi itu saya ingin menegaskan bahwa kritik seni rupa pun harus berjiwa ketok—menampakkan keadaan sebenarnya dari realitas seni rupa di Indonesia dalam kritik yang dibuat seseorang atau sejumlah orang. Tentu kritik adalah sebuah upaya terbuka untuk dialog, tukar pengetahuan, dan berbagi pemahaman dengan tetap menghargai beda sudut pandang.

Saya kaget mengetahui ada seorang pemerhati seni ( ? ) yang memandang kritik sebagai perkara buka-bukaan “issue-issue negativ” di hadapan orang lain—khususnya pecinta seni di luar Indonesia. Dia menganalogikannya sebagai “ibarat kita buka baju dan celana dihadapan orang asing untuk memperlihatkan kudis, kurap dan bisul bernanah di kulit kita.” Dia menyangsikan para pemerhati seni di luar Indonesia akan suka dengan perilaku  kritik.

Saya ingin menyebut Anda sebagai seorang pemerhati seni dengan cara pandang Mooi Indie yang turistik dan paranoia dengan kebenaran tentang situasi dan kondisi infrastruktur seni rupa Indonesia saat ini. Ironis memang—sebab sosok manusia pemerhati seni seperti Anda yang seharusnya bisa mengedepankan kebenaran sejatinya, justru menjelma sebagai makhluk anti-kritik. Pemikiran sesat ini akan menggiring kita beranggapan Anda sebagai manusia pedagang lukisan ingin memanfaatkan kelemahan infrastruktur seni rupa di negeri ini untuk kepentingan pribadi dan primordialnya.

Perlu dimengerti bahwa pecinta seni di luar Indonesia bukanlah segolongan turis mancanegara yang maunya kepada hal-hal yang romantik dan nostalgik. Mereka, apalagi yang berasal dari Barat, adalah para intelektual di bagian penting seni rupa yang menghargai kritik sebagai sarana tumbuh-berkembangnya peradaban. Kita tahu seni rupa Barat ( juga di China, Jepang dan India ) adalah seni rupa yang dibangun oleh kritik yang dinamis dan dialog yang intesif di antara penghayatnya.  

Itu sebabnya kenapa saya berkehendak menerbitkan diskusi “Kolektor Menjadi Kurator” dalam bentuk buku—dan menyebarkannya ke forum-forum penting seni rupa  internasional. Saya percaya, masyarakat seni internasional adalah masyarakat yang sadar kritik sehingga mereka akan mau menerima persebaran pengetahuan dan pemahaman kritis tentang seni rupa Indonesia.

Dengan begitu, buku itu pun bisa menjadi semacam sarana yang memperlihatkan kepada masyarakat seni rupa internasional bahwa masyarakat seni rupa Indonesia adalah masyarakat yang penuh dinamika dalam wacana—masyarakat yang terbuka dan membuka diri untuk berdialog dengan segala perkembangan yang berlangsung di dalam dan luar negeri.

Saya akan menutup tulisan ini dengan pertanyaan : Dialog serupa ini, tidakkah pantas bila disalah artikan sebagai perebutan “KUASA PENGARUH DI DUNIA SRI” antar pihak yang sama sama tololnya ?

Surabaya, 11 Juni 2013
hendrotan***


Amrizal Salayan, Dosen ITB (11/6’13),  jam 18.26 wib

Ya.. Yang dapat  "Menelanjangi diri sendiri" lah yang memerlukan kekuatan mental spiritual. Hanya manusia yang sangat yakin akan jalan perjuangannya lah yang dapat melakukan hal itu...   Salam hangat u P.Wiyu atas  pikiran2nya yang inspiratif u di respons bersama. Itu pun sebuah 'ketelanjangan'. Dengan diskusi ini kita lebih dapat menyaksikan diri kita sendiri di tengah peta senirupa indonesia... 

Salam perjuangan  u Kangmas hendrotan..***  



Wicaksono Adi, penulis seni rupa (26/6’13), Jam 16.00

Pak Hendro Tan,

Saya memiliki pengalaman yang menarik. Dalam sebuah perbincangan dengan kritikus sastra almarhum Subagio Sastrowardoyo tahun 1989, ada satu hal yang saya ingat betul. Saat itu Pak Bag (demikian panggilan akrab beliau) mengatakan bahwa terdapat perbedaan mendasar tentang pengertian dan fungsi kritik dalam dunia seni-sastra dengan kritik pada dunia kuasa-politik. Dalam dunia seni-sastra kritik adalah bagian inheren yang tak dapat dipisahkan dengan denyut nafas dan perkembangan seni-sastra itu sendiri. Ketika dunia seni-sastra mengalami kemandegan, kelesuan atau bahkan kemacetan, maka dunia kritik dan para kritikus akan ikut disalahkan. Dunia kritik harus bertanggung jawab terhadap kemandegan tersebut. Kritik yang lemah akan menghasilkan seni-sastra yang lemah pula. Maka, jika kritik dihindari maka tunggu saja kehancuran seni-sastra itu sendiri.

Sementara dalam dunia kuasa-politik, kritik cenderung dipahami sebagai perongrong, pengganggu, pengacau dan semacam ancaman penghancur sehingga harus disingkirkan atau dibasmi. Kritikus adalah musuh penguasa politik. Maka, orang yang ketakutan terbirit-birit dan paranoid terhadap kritik, berarti orang itu golongan penguasa, atau sekurang-kurangnya ingin menjadi penguasa, atau berpikir dalam kerangka kuasa-politik.

Saya setuju pendapat Subagio Sastrowardoyo yang nota bene adalah salah satu kritikus dan penyair besar yang dimiliki sastra Indonesia itu. Dan kebetulan saya banyak juga bergaul di dunia sastra. Setahu saya, perdebatan dalam dunia seni rupa Indonesia masih belum apa-apa dibanding ketajaman dan kekuatan kritik-kritik dalam dunia sastra. Kritik-mengkritik dalam dunia seni rupa masih penuh basa-basi. Orang takut dengan bisul, nanah atau aib-aibnya diperdebatkan atau dibedah di atas meja dengan blak-blakan.

Maka, harus dikatakan bahwa dalam dunia seni rupa akan lebih potensial terjadi berbagai "manipulasi" dan kepura-puraan. Saya berharap orang yang bergiat di dunia seni rupa dapat belajar menghilangkan watak cengeng sehingga berani adu kritik yang lebih hebat, lebih blak-blakan. Kecengengan hanya akan menghasilkan kelembekan. Dan kelembekan hanya akan menghasilkan kaum oportunis.

Perlu dicatat, di dunia sastra Indonesia ada tokoh bernama Chairil Anwar yang pernah bilang: "koreklah luka hingga darah dan nanah mengurur sampai tandas, hingga hilang pedih perihnya". Hanya dengan begitu engkau dapat melampaui rasa sakit itu sendiri, "lalu menghambur, menerjang, menerjang...". Hanya dengan dengan begitu engkau dapat "naik kelas", dari tukang "mengembik" menjadi manusia yang benar-benar memiliki jiwa.
Kata Chairil Anwar lagi, hanya dengan begitu engkau dapat berkata: "aku ingin hidup 1000 tahun lagi".

Salam,
Wicaksono Adi, penulis seni rupa.***



     




     

Kamis, 06 Juni 2013

KOLEKTOR MENJADI KURATOR - KESIMPULAN - Update tanggal 6 Juni 2013

hendrotan, pengelola blog dan pemilik galeri (6/6'13)

Para pembaca blog yang budiman, sebagai penutup diskusi bertema kolektor menjadi kurator, pada akhirnya saya memberi kesimpulan sebagai berikut :

KESIMPULAN
Diskusi bertema Kolektor Menjadi Kurator

Tanggapan perihal “Kolektor Menjadi Kurator” di www.sriseutuhnya.blogspot.com ini—dari 28 April sampai 5 Juni 2013—telah menjadi wacana publik yang sarat dengan pemikiran, pemahaman dan perenungan.

Saya tidak membayangkan sebelumnya bahwa undangan untuk mendiskusikan tema kolektor menjadi kurator akan disambut dengan begitu antusias oleh banyak pelaku seni rupa—akademikus, kurator, kritikus, penulis, kolektor, pecinta seni, perupa, dan pemilik galeri—dari berbagai kota di Indonesia.

Yang sungguh mencengangkan dan mengharukan adalah respons pembaca. Tak terkira, selama satu bulan lebih itu, -+ 8000 pembaca menyimak diskusi di blog ini. Antusiasme oleh masyarakat SRI ini meyakinkan saya bahwa infrastruktur seni rupa Indonesia memang perlu ditata-kelola secara lebih baik lagi.  

Saya melihat bahwa kesadaran bersama untuk memperbaiki infrastruktur SRI itulah yang membuat diskusi ini mengalir deras dan bertahan cukup lama di selingan  pro—kontra pendapat setiap orang yang terlibat di dalamnya.

Perbedaan dan persamaan pemikiran atau perspektif adalah sesuatu yang tak terhindarkan dalam diskusi apa pun—tak terkecuali diskusi dalam blog ini. Tapi, yang lebih penting adalah bagaimana kita menghadapinya dengan sikap kritis seraya menjunjung tinggi prinsip etis dalam berkomunikasi di ruang publik.

Karena itu—jika bekesenian diartikan sebagai laku estetis berdasarkan kesadaran akan peran dan tanggung jawab profesional, maka sudah seharusnya bila setiap pemangku kepentingan dalam infrastruktur Indonesia saling menghormati keberadaan masing-masing dan bersikap bijaksana dalam menyikapi segala keterbatasan yang ada. Bukan sebaliknya atau malah bersikap semau gue ( pongah ), apalagi kalau ditengarai memiliki misi-misi pragmatis yang terselubung, yang akan berujung mengacaukan infrastruktur seni rupa di Tanah Air.

Harus pula disadari bahwa blog ini bukanlah media untuk menyebarkan permusuhan melainkan forum publik untuk mendiskusikan persoalan yang dianggap penting—berita, peristiwa, pemikiran—di dunia seni rupa Indonesia dengan objektivitas.

Kembali kepada diskusi “Kolektor Menjadi Kurator” seperti kita ketahui bahwa ini bermula dari pameran seni rupa Beyond Boundaries: When Collectors Curate a Show yang berlangsung di Umahseni Gallery Jakarta, 25 April-25 Mei ( 28 Mei ? ) 2013.

Saya menganggap kasus pameran tersebut penting diangkat pada blog sriseutuhnya untuk dibicarakan kepada publik, karena ( adanya ) keterlibatan langsung kolektor yang dikhawatirkan membawa kepentingan personal. Jika kasus tersebut dibiarkan saja tanpa dikritisi dengan seksama—maka penetrasi pasar yang telah menembus wilayah wacana atau ilmu pengetahuan / kedisiplinan itu akan membuat seni rupa Indonesia menjadi  rimba raya tak bertuan yang dapat diklaim oleh siapa saja, terutama oleh mereka para kapitalis, (tulisan SRI AKANKAH DI BEBAS-LIARKAN di blog hendrotan.blogspot.com), maka itu sama saja artinya dengan kita—sebagai ilustrasinya—membiarkan ketika pemilik pabrik obat dan dealer berpromosi dengan klaim muluk muluk kemanjuran obat racikan sang apoteker tanpa melewati proses standar kwalitas kontrol dan pengujian klinis oleh badan Pengawas obat obatan dan makanan, ( didalam hal ini diibaratkan sebagai kurator profesional dengan reputasi baiknya ). Karena itu kalau kita mendiamkan, akibat buruknya tentu sudah dapat kita perkirakan.

Itu sebabnya saya merasa perlu mempertanyakannya, lagi pula kasus tersebut telah menyinggung nilai-nilai terpatri dalam infrastruktur seni rupa—yaitu integritas dan tanggung jawab profesional. Rupanya, NILAI itulah yang menggerakkan banyak kurator, kritikus, pemilik galeri dan kolektor kelas atas untuk terlibat dalam diskusi ini. Dari sini kita jadi lebih mengerti bagaimana mereka menjelaskan dan memaknai kelebihan dan kekurangan atau keunggulan dan kelemahan bukan hanya profesi tapi juga eksistensi sosok kurator seni rupa.  
     
Jadi, teranglah apa yang menjadi tujuan utama digelarnya diskusi kolektor menjadi kurator ini—yaitu bukan untuk menghakimi kasus tersebut atau memprotes pameran itu, melainkan untuk mengajak berpikir kritis, dan cerdas semua pemangku infrastruktur di dunia seni rupa Indonesia, sekali lagi sebagai ruang pembelajaran bersama insani senirupa Indonesia dari yang terdidik menjadi pendidik dan sebaliknya.

Tak lupa saya menghaturkan banyak terima kasih kepada seluruh kontributor yang telah menanggapi diskusi ini.

Dengan ini diskusi bertema “Kolektor Menjadi Kurator” saya tutup, sampai ketemu di tema lain yang akan datang di blog sriseutuhnya.

Surabaya, 06 Juni 2013
Salam hangat
hendrotan

Note :
Diskusi online ini akan dijilid dengan dua macam bahasa Indonesia dan Inggris ( penerjemah : Landung Simatupang ), selanjutnya akan disebarkan gratis ke kontributor, juga akan dikirim kepada Team of Curators di Venice Biennale, Sao Paulo Triennale, Documenta, MoMA Museum, Guggenheim Museum, Kunstmuseum, Tate Modern Art Museum, Singapore Art Museum, Australian Centre for Contemporary Art (ACCA) dan Pemred Art Forum Mag.***



Aminudin TH Siregar - Ucok, Kurator seni rupa, Direktur Galeri Soemardja (10/6’13)

KESIMPULAN Diskusi bertema Kolektor Menjadi Kurator

Yth. Pengurus dan Anggota AGSI,

Izinkan saya mengekspresikan saja apa yang sudah berlangsung dan diperdebatkan dalam beberapa bulan terakhir sehubungan "kolektor menjadi kurator" yang sudah diakomodasi oleh Emmitan Gallery. Bagi saya, apa yang telah terjadi adalah suatu niatan yang tulus untuk bersama-sama membenahi pranata seni rupa di tanahair: membangun konsensus; etika; moral dalam berbisnis, berbudaya, dan bersosial; dan ini semua adalah refleksi dari pekerjaan rumah kita yang begitu banyak guna memperbaiki realitas dunia seni rupa yang sama-sama kita hadapi.  

Saya pribadi ingin mengungkapkan salut dan apresiasi tinggi untuk Emmitan Gallery yang telah mengakomodasi diskusi tersebut. Dan saya percaya, memang sudah saatnya AGSI berperan aktif - seperti yang telah ditunjukkan oleh Emmitan Gallery.

Dari sektor lain, kami, para kurator, tentu memiliki agenda yang tak kalah besar untuk memikirkan bagaimana membenahi kesemrawutan kerja profesi kurator Indonesia. Seperti yang telah lama diwacanakan semenjak beberapa tahun terakhir, barangkali, perlu ada satu wadah untuk para kurator ini. 

Salam hangat,
Aminudin TH Siregar
Direktur Galeri Soemardja-ITB***