Farah Wardani, Direktur Indonesian Visual Art
Archive (27/5’13)
Pak Hendro, ini
catatan kecil saya:
Menurut saya perihal Kolektor Menjadi Kurator akan saya
jelaskan dalam beberapa pointers di bawah ini:
1. Bagi saya, peran kurator (independen) adalah sebuah
posisi yang bebas diambil oleh siapa saja, bahkan juga selama ini
seniman/pemilik galeri pun sering mengambil peran itu dalam hal kerjasamanya
dengan seniman dalam menyelenggarakan pameran - hanya saja tak setiap kali
mengklaim dirinya sebagai kurator. Tapi intinya, sekarang siapa pun bisa
menjadi kurator karena juga tidak ada regulasi atau batasan-batasan yang jelas
mengenai curatorship di Indonesia
(saya akan kembali ke hal yang terakhir ini nanti).
2. Kerja kurator yang saya tahu sejatinya adalah usaha
mengkontekstualisasikan pengkaryaan seni dan menstrukturkannya dalam sebuah
representasi visual - yang biasanya adalah pameran. Disini hubungan dan
dialog si kurator dengan seniman sangat penting dan bagi saya harus terjadi
secara sejajar. Jadi siapa pun, mau itu pengamat seni, penulis, kolektor pun
bisa melakukannya, kalau terjadi proses itu dengan baik.
3. Namun saya juga sadar bahwa dalam hal ini, ketika
kolektor menjadi kurator bisa menjadi masalah atau pertanyaan karena ada
potensi bias kepentingan. Sebagai kolektor, harus siap menghadapi pertanyaan
dari pengunjung apakah representasi seniman yang dilakukannya benar-benar bebas
dari kepentingan sepihak - misalnya dalam hal ini mendongkrak nilai karya-karya
seniman yang dikoleksinya sendiri. Tentu saja dalam hal ini nilai nominal.
Kalau bisa membuktikan bahwa pameran yang dikuratorinya bebas dari hal
tersebut, saya rasa tidak masalah. Dan tentu saja publik bebas menilai apa
saja.
4. Tapi secara keseluruhan bagi saya, persoalan
curatorship (balik ke poin 1) memang masih sangat rentan di Indonesia . Tak
ada legitimasi publik atau institusi yang secara legal-formal bisa 'meresmikan'
atau menetapkan standar-standar seseorang berprofesi sebagai kurator, seperti
museum misalnya, dimana kurator koleksi negara dapat bekerjasama dengan kurator
independen dalam menciptakan program-program yang mampu mengarahkan sejarah
serta perkembangan seni rupa negeri ini. Penilaian dan kanonisasi seni rupa
masih cenderung terseret pada powerplay antara relasi kolektor-galeri-seniman,
yang kadang personal sekali sifatnya - tak melibatkan kepentingan publik luas
atau pendidikan seni untuk publik. Bagi saya, ini masih masalah yang mengakar
sekali dan ujung-ujungnya menciptakan kerancuan-kerancuan seperti perdebatan
kolektor menjadi kurator ini.
Begitu kiranya pendapat saya, terima kasih
Farah Wardani
Direktur Indonesian Visual Art Archive***
Wahyudin,
Kurator (27/5’13)
Sesat-Pikir di Minggu Pagi yang Jahanam
Oleh WAHYUDIN
“Dalam semua keadaan, yang paling baik adalah tahu batas.”
—Titus Maccius Plautus (254-184
SM.)
MINGGU PAGI itu—19 Mei 2013—adalah Minggu pagi paling jahanam dalam
hidup saya. Jeritan pesan pendek (SMS) dari telepon genggam saya bertalu-talu
mengabarkan sabur-limbur tanggapan pembaca atas esai saya, “Kolektor yang
Melampaui Batas,” yang terbit di Jawa Pos. Di antaranya, sembilan butir SMS
dari Irawan Hadikusumo, seorang pecinta seni di Surabaya.
Tersebab sembilan butir SMS-nya
mengandung kata-kata kotor, salah-duga, dan sesat-pikir—apalagi telah
disebarkannya ke orang lain, maka menjadi perlu bagi saya untuk menanggapinya
di sini, tentu saja, bukan sebagai perkara pribadi melainkan sebagai wacana
publik ihwal profesi dan eksistensi kurator di mata pecinta seni.
Baiklah saya terangkan—utamanya
untuk pembaca yang belum membaca tulisan tersebut—prinsipnya: Sebuah tulisan
yang terbit di media massa
adalah sebuah publikasi proses berpikir yang berkehendak menjadi suatu
percakapan dengan diri-sendiri dan dengan pemikiran orang lain. Demikianlah
tulisan saya tersebut dibuat dan diterbitkan untuk keperluan urun-rembug dalam
percakapan publik tentang kasus “Kolektor Menjadi Kurator” yang ramai
diperbincangkan di www.sriseutuhnya.blogspot.com
ini.
Tegasnya, tulisan saya tersebut
dibuat dan diterbitkan atas dasar kesadaran eksistensial saya sebagai kurator
independen—tanpa intervensi dan upah dari pihak lain. Karena itulah setiap kata,
kalimat, dan pendapat yang tersurat di dalamnya dapat dan siap saya
pertanggungjawabkan secara legal dan intelektual.
Dengan prinsip dan kesadaran
eksistensial itu saya malah tak habis pikir gerangan apa yang mendorong pecinta
seni itu bertingkah bak bonek, polisi moral, atau pengacara Wiyu Wahono—subyek
wacana dalam tulisan tersebut dan pusat perhatian dalam diskusi online
“Kolektor Menjadi Kurator.”
Aneh bin ajaib, bukannya Wiyu
yang merespons, justru dia yang meradang seperti pelancong kesurupan yang
tersesat alamat sehingga menerjang etika dalam komunikasi publik. Dia
menggonggong saya dengan kata-kata tak beradab sebagai “budak cukong” atau
“HAMBA bpk (Hendrotan—red.) yg takut kehilangan job pekerjaan” atau “kurator
yang dibayar n lagi menggantungkan hidupnya ke Emmitan Gallery.”
Tentu saja—saya
tegaskan—gonggongan itu merupakan salah-duga yang jumawa, sesat-pikir yang
sumir, dan tuduhan-sosial yang banal tentang profesi dan eksistensi orang lain.
Ternyata, gonggongan yang tak kalah tak beradabnya ditujukannya pula kepada
Hendrotan. Dia menuding integritas pemilik Emmitan Contemporary Art Gallery dan
pengelola blog ini sebagai seorang “pengupah” atau “cukong” yang “mau merusak
tatanan seni Indo dg mempunyai budak.”
Selama sepekan ini saya mati-matian
mencari nalar gonggongan itu dengan tautan cara-pikir yang eksentrik dalam
khazanah filsafat. Tapi—hasilnya nol besar. Alih-alih, saya malah menemukan
mambang perbandingan yang dibuat pecinta seni itu untuk membela kecenderungan
retorika “pertanyaan dibalas pertanyaan” Wiyu Wahono. Dia bermaksud menyamakan
Wiyu dengan Socrates atau menyandingkan retorika Wiyu dengan dialektika
Socrates dan/atau metode Socratik.
Alangkah menggelikannya—kalau
bukan gegabah. Baiklah diketahuinya bahwa metode Socratik bukanlah asal-asalan
“pertanyaan dibalas pertanyaan,” melainkan sebuah cinta-kebijaksanaan yang
berkehendak menemukan kebenaran melalui dialog yang lekat.
Dari yang menggelikan itu saya
temukan setitik kebenaran—bahwa pecinta seni itu bukanlah golongan orang yang
memahami tradisi intelektual dalam bertukar pikiran di ruang publik—di mana
tulisan harus dibalas dengan tulisan, bukan dengan gonggongan kasar atau
kata-kata kotor.
Namun demikian, menjadi bisa
dimengerti jika cara-pandangnya terhadap relasi-kerja antara galeri dan kurator
merupakan cara-pandang kolonialis yang hirarkis—sebagaimana terungkap dari
frasa “budak dan cukong” atau “pengupah dan hamba” yang tersurat dalam
kata-kata pecinta seni itu.
Bagaimanapun cara-pandang kolonialis
yang hirarkis itu mengejutkan—kalau bukan aneh tapi nyata—dalam konteks seni
rupa kontemperer saat ini. Dia mendesak-desak perkara batas, tapi dia juga yang
membudak-hambakan profesi dan eksistensi orang lain. Di sinilah dia makin menggelikan.
Seperti halnya Wiyu yang mencatut sosok—entah ini fiktif atau nyata—Florida
Rubell sebagai dalih-pembenaran, pecinta seni itu mencederai buku The Value of Art Michael Findlay dengan
salah-baca yang gegabah.
Dia mendaku bahwa Findlay “menulis di sana
sdh biasa kolektor mengkurasi pameran.” Tapi pembaca yang cermat akan segera
tahu bahwa pendakuan itu tak lebih dari dalih-pembenaran untuk mendukung ulah
Wiyu dan kawan-kawan dalam pameran seni rupa Beyond Boundaries: When Collectors Curate a Show di Umahseni Gallery,
25 April-25 Mei 2013. Sebab, setelah membaca tuntas dan saksama buku tersebut,
saya tak menemukan pada bagian apa atau halaman berapa keterangan tersebut
termaktub.
Sampai pada titik itu, saya tak
ingin menduga-duga bahwa cara-pandang kolonialis yang hirarkis pecinta seni itu
merepresentasikan ucapan, pikiran, dan tindakan pecinta seni lainnya—terutama
kolektor dan kolega-koleganya yang menjadi pusat perhatian dalam perbincangan
“Kolektor Menjadi Kurator” di blog ini—terhadap profesi dan eksistensi kurator
seni rupa di Indonesia .
Soalnya, jika benar—betapa sangat
sialnya seni rupa Indonesia
terpeluk oleh pecinta seni dan kolektor seperti itu. (*)
WAHYUDIN, Kurator
Seni Rupa***
Nia Gautama, Seketaris AGSI (27/5’13)
Terimakasih kepada Pak Hendrotan yang
memberi kesempatan kepada saya mengutarakan pendapat mengenai topik yang sedang
hangat : “When Collectors Curate a Show”. Saya pribadi masih
‘anak bawang’ dalam lingkup seni rupa, walaupun perkenalan saya kepada
senirupa sudah sejak 2000. Sepertinya Pak Hendrotan punya intuisi tersendiri
sehingga memberi kepercayaan kepada saya (yang masih ‘bau kencur ini’) untuk berpendapat.
Dalam mengutarakan pendapat, saya
tidak mau ‘asal bunyi’, ‘nyamber’ gak jelas, maka saya menyempatkan diri untuk
melihat sendiri pameran tersebut. Setelah melihat pamerannya, perasaan saya
biasa-biasa saja, karena memang tidak ada yang istimewa dari pameran tersebut (setidaknya menurut pendapat saya, karena saya
tidak merasakan ‘woow’ dari pameran ini).
Sangat disayangkan bahwa saya hanya mendapatkan 1 (satu) buah katalog yang
tersisa, dan itu katalog salah satu peserta pameran (kolabrasi kolektor dan
seniman). Saya kira untuk ketiga seniman yang masing – masing dikurasi
oleh ketiga kolektor tersebut , katalognya bisa jadi satu,
sehingga merupakan satu rangkaian pameran utuh dan tidak terpisah-pisah,
walaupun pengkurasiannya bisa secara individu.
Tentang pameran
Menelaah judul pamerannya “Beyond
Boundaries, When Curators Curate a Show’, jelas ini ditujukan kepada publik
untuk melihat, mengamati, bahkan (mungkin) menilai kualitas pamerannya. Kolektor yang selama ini
mengkoleksi karya, tentunya punya pandangan dan penilaian tersendiri terhadap
suatu karya, dan kedua hal tersebut yang menentukan mereka (kolektor) untuk
berkeputusan ‘mengkoleksi atau tidak’ suatu karya. Jadi saat mereka ditantang
untuk mengkurasi, tentunya mereka menuangkan apa yang ada dibenak mereka
terhadap suatu karya. Selanjutnya, cara mereka menuangkan pemikiran mereka
terhadap suatu karya kedalam bentuk tulisan, akan menentukan bobot atau
kapasitas pengetahuan mereka terhadap objek yang dikurasi, juga ketrampilan
olah kata dan kekayaan kosa kata yang digunakan. Saya hanya membaca wacana dari satu katalog,
uraiannya sederhana , jelas, dan terlihat bahwa penulisnya cukup rajin membaca
wacana seni rupa.
Tentang sah atau tidak sah
Siapapun berhak mencoba melakukan
profesi orang lain, asal segala sesuatunya dapat dipertanggungjawabkan,
maksudnya ‘percobaan’ tersebut dilakukan dengan niat yang tulus (bukan untuk
niatan lain), kesungguhan, dan tidak asal. Senimanpun berhak mengkurasi suatu
pameran. Sekarang ini sepertinya sedang trend, para selebritis ‘populer ‘ditantang
untuk menyutradai sebuah film yang diangkat dari novel penulis (selebritis)
‘populer ‘ yang diproduseri oleh rekan selebritis yang juga popular. Dan ini
bisa dengan mudahnya terlaksana karena unsur ‘rekanan’. Mengenai kualitas
penyutradaraan lantas tidak menjadi terlalu penting lagi, karena dilakukan oleh
faktor ‘siapa kenal siapa’dan ‘profesi
pelaku penyutradaraan’ tersebut. Dan seandainya hasil karya filmnya laku, bisa
jadi ini karena faktor ‘SIAPA’ dibalik film tadi.
Nah sama saja kasusnya dengan
para kolektor (terpilih) yang mengkurasi dan berkolaborasi dengan seniman (terpilih), yang ditantang oleh
seorang pemilik galeri. Seandainya pameran tersebut membuahkan ‘nilai ekonomi ‘ yang cukup baik, bisa jadi
yaa….faktor ‘dibalik layar’ tadi.
Apakah dikemudian hari para tokoh ini beralih profesi, yah itu juga hak masing-masing, asal segala
sesuatunya dapat ‘dipertanggungjawabkan’ dan dengan niatan yang tulus.
Demikian pendapat saya, silahkan
disimpulkan sendiri.
-Nia Gautama, seniman, pemerhati seni-***
Mengapa tidak pantas dan tidak pas? Inilah
alasannya:
Djuli Djati
Prambudi, Dosen (28/5’13)
Yth. Kawan-kawan sebangsa dan setanah air seni rupa Indonesia .
Saya sungguh menikmati polemik
ini. Karena itu saya akan nimbrung sedikit di medan pertempuran yang makin sengit dan
menarik ini. Saya akan mengawali dengan bertanya, “Apakah boleh seorang
kolektor menjadi kurator dalam suatu pameran?”. Saya jawab sendiri, “Ya
boleh-boleh saja. Cuma TIDAK pantas dan TIDAK pas”.
1. 1.
Kurator
(independen) dalam konteks seni rupa Indonesia memang sebagai “profesi”
terbuka. Artinya, siapapun bisa mengklaim dirinya sebagai kurator (toh tidak
ada asosiasi profesi kurator). Kelahiran para kurator di Indonesia sebenarnya semacam kecelakaan sejarah
seni rupa Indonesia
(modern/kontemporer) tatkala boom seni rupa tiba-tiba meledak di Indonesia tanpa
ada latar belakang sosial-historis yang bisa menjelaskannya. Boom itulah yang
memicu pertumbuhan pasar seni rupa, yang pada akhirnya secara spontan
memerlukan medan
seni yang makin luas dengan persiapan yang serba darurat. Munculah
galeri-galeri darurat, art dealer darurat, kolektor darurat, hingga akhirnya
juga kurator darurat. Karena itu, kinerja pasar seni rupa Indonesia juga
sebagai pasar darurat.
2.
Mengapa darurat? Karena, fenomena boom seni rupa datang
pada awalnya bukan sebagai efek dari desain sejarah seni rupa Indonesia
(modern). Namun, boom itu datang semata-mata sebagai efek krisis ekonomi dan
politik pertengahan dekade 1980-an, sekalipun pada saat itu ada efek domino
dari boom seni rupa di Asia Pasifik dengan fenomena pembelian besar-besaran
karya seni rupa modern Eropa oleh para saudagar raksasa Jepang. Krisis
sosial-politik di Indonesia pada akhirnya memacetkan infrastruktur ekonomi,
kemudian para pemainnya (pedagang) mengalihkan investasinya sementara di karya seni
(sekalipun pembelian karya seni itu) pada awalnya tidak disadari sepenuhnya
nilai intrinsik di dalam karya yang dijadikan ikon pasar saat itu.
3. Kelahiran pasar seni rupa yang tidak dibangun dari
supra/infrastruktur sejarah seni yang lengkap, akhirnya menimbulkan historical chaos di berbagai tataran
wacana dan praktiknya. Termasuk sekarang ini di tataran praktik kuratorial.
Praktik seni rupa yang miskin wacana, akhirnya bermuara di pasar seni rupa yang
miskin etika. Karena, di model pasar yang serba darurat ini, peran kritikus
seni, wartawan seni, media massa
seni, pendidik seni, perguruan tinggi seni, termasuk kurator, yang jelas-jelas
sebagai produsen wacana yang didasarkan research
by theoretical frame work, tidak mendapatkan tempat yang memadai. Dengan
kata lain, peran dan posisinya sebagai pewacana seni tak dihitung atau dihargai
dalam medan
seni (pasar) yang darurat itu.
4.
Kalau sudah demikian, lantas apakah seni rupa Indonesia
tetap dipelihara atau dikondisikan darurat terus-menerus? Kalau jawabannya
“ya”, maka siapapun dengan seenaknya bisa menjadi kurator kapan saja. Tapi, kalau jawabannya “tidak”, maka agar
perkembangan seni rupa Indonesia tidak mundur ke belakang, sejarah seni rupa
Indonesia butuh “darah segar” berupa pemikiran baru yang berbasis kekuatan
wacana, teori, paradigma, yang semuanya itu pekerjaan special para teoritikus
seni, kritikus, peneliti, pendidik, dan tentu saja kurator. Kurator adalah
orang yang mengeksplorasi peristiwa seni menjadi peristiwa budaya dan sejarah
yang bermakna. Karena itu dia penting!
DJULI DJATIPRAMBUDI – Sby***
Syakieb
Sungkar, Kolektor dan Penasihat PPSI (31/5’13)
Sebenarnya Kolektor menjadi
Kurator boleh2 Saja asalkan dibekali oleh kemampuan dan pengetahuan yg cukup
dalam mengkurasi. Kemampuan mengkurasi nantinya akan terefleksi dari karya
yg dipamerkan serta kualitas catatan kuratorial yg dihasilkan.
Memang belakangan iniAda
keluhan perihal Kerja sebagian Kurator yg asal2an. Seringkali tulisan Kurator
melenceng dan tidak membahas Karya itu sendiri sebabnya barangkali mereka
tidak hadir berkunjung saat Karya sedang dibuat.
Memang belakangan ini
Kalau Kolektor bisa mengkurasi
dgn kualitas yg lebih baik, itu akan menjadi terobosan. Sayangnya hasil kurasi
Kolektor di Galeri Leo kemaren, sangat rendah mutunya. Itulah sebabnya banyak
kritik ditujukan pada pameran tersebut.
Sementara terlihat komentar2 Wiyu
sangat tinggi Hati dan melenceng. Misalnya dia bilang bahwa Karya yg dipamerkan
60% terjual karena dikurasi oleh Kolektor. Padahal Kerja kurasi yg benar itu
tak Ada
hubungannya dgn penjualan.
Belum lagi kenyataannya yg beli
itu Karya adalah Wiyu sendiri. Jadi seperti cerita orang menggarami laut.***
Semarang , 31 Mei 2013***
Chris Dharmawan, Pemilik Galeri, Kolektor (1/6’13)
PEMIKIRAN TENTANG
KEBANGGAAN DAN PENGHORMATAN TERHADAP SEBUAH PROFESI.
- Sebuah
tanggapan terhadap polemik double profesi kolektor kurator -
Oleh : Chris Dharmawan
Sejak kecil saya sangat menggilai olah raga. Saat di SMA saya
sudah berhasil mengikuti turnamen tennis tingkat Nasional kelompok umur .Saya
bermimpi untuk menjadi juara Nasional, dan untuk itu saya berlatih keras untuk
menggapai cita cita. Di dalam olah ragalah saya mula mula mengenal bahwa
perjuangan menuju keberhasilan itu ternyata bukan perkara sepele. Bukan saja
bakat dan ketrampilan ,tetapi juga penguasaan teori, fisik yang prima ,disiplin
tinggi, ketekunan, ditambah pelatih yang baik, serta proses mengikuti
pertandingan pertandingan untuk menaikan peringkat dan mengasah mental juara.
Semua itu dilalui dalam proses waktu yang tidak sebentar. Toh akhirnya
saya harus menyadari bahwa tingkat dan kelas kemampuan saya hanya sebagai
petenis remaja yang cukup baik dan berbakat , tidak untuk kapasitas juara
Nasional seperti yang saya cita citakan. Dan saya tetap bangga dengan
pencapaian itu.
Pengalaman masa remaja diatas membuat saya selalu mengagumi
dan menghormati orang orang yang berprestasi, Saya kadang terharu saat menonton
akhir akhir ronde sebuah pertandingan tinju, dimana pada detik detik itu
seorang petinju berjuang mati matian untuk membuktikan segala jerih payahnya
untuk menjadi juara. Tidak terbatas di dunia olah raga saja, sampai sekarang
saya selalu menganggap mereka yang berprestasi tinggi itu sebagai manusia
ajaib, entah itu olah ragawan, businessman, pemusik, pemain film, politikus, sastrawan
,pelawak, perupa maupun kurator idola saya. Mengapa ajaib ?? Sebab saya selalu
berkaca dan membandingkan dengan kemampuan diri ,disertai kesadaran bahwa
untuk mencapai sebuah profesionalisme dalam profesi itu tidak semudah yang
dibayangkan .
Kita sudah terbiasa menganggap sebuah pencapaian itu adalah
hal yang wajar wajar saja. Kita tidak menganggap penting proses menuju sebuah
pencapaian. Kita sering tidak sadar atas proses pencapaian juara Liga Premier
Inggris misalnya. Kita tidak menyadari bahwa untuk menggapai prestasi menjuarai
Liga Premier Inggris itu harus dilalui dengan perjuangan menjuarai Liga Divisi
3,2,1 dan baru di Liga Utama. Untuk menyamai prestasi Manchaster United
itu, mereka harus menunggu puluhan, bahkan seratus tahun lebih atau bahkan
tidak mungkin akan menggapai untuk selamanya.
Membandingkan infra struktur dalam dunia seni rupa, bisa di
analogikan dengan infra struktur di dunia sepak bola. Kalau didunia seni
rupa ada seniman, kolektor, galeri, art dealer, kritikus, media, Institusi
seni dan kurator, di dunia sepak bola ada pemain, pelatih, manager, penonton,
sponsor, pemilik klub, media dan kritikus serta komentator. Masing masing
pemangku infrastruktur adalah sebuah kebanggaan profesi yang diperjuangkan
secara profesional dan mempunyai kelas kemampuan serta dunia perjuangan sendiri
sendiri. Kalau kemudian seorang pelatih sepak bola dengan alasan pemainnya
tidak kunjung piawai seperti yang diharapkan oleh sang pelatih, kemudian sang
pelatih memutuskan ikut terjun sebagai pemain, bagaimana ya ?. Bagaimana juga
dengan seseorang yang masih memperjuangkan profesinya menjadi kolektor yang
baik kemudian tiba tiba memproklamirkan dirinya menjadi kurator pada sebuah
pameran dengan alasan tidak puas terhadap kinerja kurator ?.
Dalam logika saya, orang orang yang membanggakan dan
menghargai sebuah profesi akan sulit melakukannya, walaupun itu sah sah saja
dan tidak ada orang yang bisa menghalangi. Lebih penting lagi orang suka lupa,
dengan melakukan tindakan tersebut, orang akan menilai bahwa orang tersebut
tidak menghargai dirinya sendiri dalam konteks sebuah profesi yang pada
hakekatnya selalu harus terus menerus diperjuangkan.
Kita kembalikan saja kepada para kolektor kurator yang menjadi topik perbincangan ini. Kita tunggu pembuktian kiprah selanjutnya dalam menjalankan double profesi. Apakah mereka akan menjadi manusia ajaib dalam dunia nya atau hanya akan menjadi pelengkap cerita remeh temeh di sore hari.
Kita kembalikan saja kepada para kolektor kurator yang menjadi topik perbincangan ini. Kita tunggu pembuktian kiprah selanjutnya dalam menjalankan double profesi. Apakah mereka akan menjadi manusia ajaib dalam dunia nya atau hanya akan menjadi pelengkap cerita remeh temeh di sore hari.
Wahyu Nugroho, Perupa (2/6’13)
saya terkesan dg tulisannya Pak Chris Dharmawan. Kita sering
mengabaikan, perjuangan seseorang dlm mencapai sebuah prestasi. Kadang2 kita
malah bersikap sinis, curiga, atau iri atas prestasi seseorang. Salah satu
hikmah yg terkandung dlm tulisannya Pak Chris adalah apa pun prestasi yg telah
dicapai seseorang itu, dia telah melewati masa waktu panjang berusaha dengan
kerja keras dan sungguh - sungguh, tidak bersantai seperti gampang gampang
membalik tangan.
Wahyu Nugroho, Perupa tinggal di Pasuruan***
Widji Paminto
Rahayu, Perupa ISI tinggal di Tulungagung(2/6’13)
Semakin seru namun tambah dewasa posisi SRI, adanya macam2 wacana dan
akulturasi budaya. Wacana dari berbgai disiplin, diperlukan sifat ‘nyegara’
artinya ‘hatinya seluas, sedalam lautan’. Disamping kecerdasan yg tinggi
juga diperlukan ‘daya ma’lum yg tinggi. Seperti segara / samodera tdk pernah
‘buthek’, walau di ‘dicemplungi’ sampah nuklir sekalipun. Inilah resiko Mbak
SRI dipandang dari macam2 sudut pandang….
Widji Paminto Rahayu, Alumnus ISI
Yogya, tinggal di Tulungagung***
Amrizal Salayan, Perupa, Pengamat Seni dan Dosen ITB (2/6’13)
Ketika masyarakat SRI berada dalam atmosfeer keterbukaan yang dipupuk oleh
galeri, kurator, kolektor, seniman dan media komunikasi dalam setiap diskusi
terbuka yang cerdas, inspiratif, bijak, maka dunia SRI menjadi media kearifan
.. Dan sertamerta dunia senirupa menjadi penting dalam membangun peradaban
manusia .. Kepedulian Kangmas Hendrotan sangat berdampak positif .. Semoga jalan kita diberkahi.
Aamiin .........
Ketika perhelatan seni (penciptaan, pameran, diskusi, dan pengkoleksian)
hanyalah sekadar pemuas nafsu kebanggaan duniawi, ketika itulah seni keluar
dari hakekat tujuannya (jalan mencerdaskan dan mewarnai kehidupan) dan ketika
itu pula seni sudah menjadi barang biasa yang tak penting-penting amat, dan
pada saat yang sama, ia (seni) sudah menistakan eksistensinya, dan hal itu
disebabkan oleh masyarakat seni itu sendiri .. Mengangkatnya tinggi melangit,
sekaligus menistainya ke lumpur noda. Ironis. Mari kita sama2 meluruskan niat,
ber-sungguh2, karena tidak banyak manusia yang dianugerahi potensi dunia seni..
Seluruh aktivitas kita adalah cerminan kualitas kita dalam memahami dan
mensyukuri anugerah itu.. Selamat berjuang sahabat semua.***
Hasil seorang kurator terlihat dari keterlibatan sang kurator tersebut dari pencetusan ide dan tujuan pameran, pemilihan seniman, proses berkarya hingga karya selesai, pembuatan katalog pameran bahkan sampai proses display pameran di ruang galeri. semua ini tugas seorang kurator. ( honor kuratorkan
mahal jadi harus banyak tugasnya )
Ridwan M., Pemilik Galeri (3/6’13)
Ikutan ngobrol sambil minum kopi di udara dingin kota Magelang Ridwan muljosudarmo Syang
art space Magelang
Setelah membaca tulisan , diskusi dan berbagai komentar dari
banyak teman, saya pengen ikut nimbrung biar tidak ngantuk. Ya .. Ini sedikit pengalaman saya dalam
mengelola art space yang berusia muda. Saya mencoba merenungkan .......!!. Dalam buku katalog dari
berbagai galeri untuk suatu pameran senirupa disitu tentu adanya tulisan. Dalam
tulisan selalu diberi judul dan siapa yang membuat tulisan itu. Disebutkan
sebagai apa status penulis ini , ada yang mencantumkan sebagai kurator atau
penulis atau komentator.
Tentu predikat kurator yang paling keren ! Ya, Setelah kita baca isi
tulisan di katalog tersebut, baru kita bisa menilai tulisan ini bermakna
sebagai hasil kurasi kurator atau hanya tulisan saja atau komen komen tentang
karya yang dipamerkan.
Hasil seorang kurator terlihat dari keterlibatan sang kurator tersebut dari pencetusan ide dan tujuan pameran, pemilihan seniman, proses berkarya hingga karya selesai, pembuatan katalog pameran bahkan sampai proses display pameran di ruang galeri. semua ini tugas seorang kurator. ( honor kurator
Sedangkan penulis ataupun komentator tak lebih hanya membahas
, menilai dan menjembatani tentang hasil akhir dari karya karya yang
dipamerkan. Maksudnya
setelah karya karya yang akan dipamerkan selesai dibuat oleh seniman , baru
penulis ini membuat tulisan tentang karya karya tersebut. ( lebih ringan
kerjanya, jadi honornya rada murah ).
Ini sedikit pengalaman dan pemahaman saya tentang peran
seorang pantas secara profesional dipredikatkan sebagai kurator, penulis atau
komentator. Kalau
ada yang tidak pas mohon dimaklumi apalagi juga membicarakan masalah honor juga
harap maklum karena hanya dari art space bukan galeri.
Jadi saat ini yang kita diskusikan dalam blog, mungkin hanya salah " ketik "
saja mencantumkan predikat sebagai apa kolektor tersebut. Kalau salah ya pak hendrotan yang
salah, kenapa saya disuruh nulis disini.
Salam
Magelang 3 Juni 2013***
Magelang 3 Juni 2013***
Edwin
Rahardjo, Pemilik Galeri, Ketua Umum AGSI (4/6'13)
Pak
Hendro,
Saya
mengibaratkan dunia senirupa Indonesia seharusnya sebagai satu kesatuan
militer, dimana para Jendral didalamnya, yang ahli dibidang masing-masing
departemen, selayaknya bekerja pada porsinya masing-masing, menggalang kekuatan, bersatu menyusun strategi untuk
menghadapi musuh dari luar. Namun disayangkan, yang terjadi para Jendral
tersebut saling hantam, saling tuding, saling menyalahkan, serta merasa dirinya
paling benar, sementara
kepentingan menyusun strategi terlupakan.
Alangkah
baiknya apabila kita siap untuk saling koreksi diri, lapang menerima kritik dan
saran dan tidak saling tuding, tentunya energi positif tersebut, akan lebih terfokus untuk bersama-sama memikirkan masa
depan senirupa Indonesia
yang lebih baik.
Salam,
Edwin***