hendrotan, pengelola
blog dan pemilik galeri (6/6'13)
KESIMPULAN
Diskusi bertema Kolektor Menjadi Kurator
Tanggapan perihal “Kolektor
Menjadi Kurator” di www.sriseutuhnya.blogspot.com
ini—dari 28 April sampai 5 Juni 2013—telah menjadi wacana publik yang sarat
dengan pemikiran, pemahaman dan perenungan.
Saya tidak membayangkan
sebelumnya bahwa undangan untuk mendiskusikan tema kolektor menjadi kurator
akan disambut dengan begitu antusias oleh banyak pelaku seni rupa—akademikus, kurator,
kritikus, penulis, kolektor, pecinta seni, perupa, dan pemilik galeri—dari
berbagai kota di Indonesia .
Yang sungguh mencengangkan dan
mengharukan adalah respons pembaca. Tak terkira, selama satu bulan lebih itu,
-+ 8000 pembaca menyimak diskusi di blog ini. Antusiasme oleh masyarakat SRI ini
meyakinkan saya bahwa infrastruktur seni rupa Indonesia memang perlu
ditata-kelola secara lebih baik lagi.
Saya melihat bahwa kesadaran
bersama untuk memperbaiki infrastruktur SRI itulah yang membuat diskusi ini
mengalir deras dan bertahan cukup lama di selingan pro—kontra pendapat setiap orang yang
terlibat di dalamnya.
Perbedaan dan persamaan pemikiran
atau perspektif adalah sesuatu yang tak terhindarkan dalam diskusi apa pun—tak
terkecuali diskusi dalam blog ini. Tapi, yang lebih penting adalah bagaimana
kita menghadapinya dengan sikap kritis seraya menjunjung tinggi prinsip etis
dalam berkomunikasi di ruang publik.
Karena itu—jika bekesenian
diartikan sebagai laku estetis berdasarkan kesadaran akan peran dan tanggung
jawab profesional, maka sudah seharusnya bila setiap pemangku kepentingan dalam
infrastruktur Indonesia
saling menghormati keberadaan masing-masing dan bersikap bijaksana dalam
menyikapi segala keterbatasan yang ada. Bukan sebaliknya atau malah bersikap
semau gue ( pongah ), apalagi kalau ditengarai memiliki misi-misi pragmatis
yang terselubung, yang akan berujung mengacaukan infrastruktur seni rupa di
Tanah Air.
Harus pula disadari bahwa blog
ini bukanlah media untuk menyebarkan permusuhan melainkan forum publik untuk
mendiskusikan persoalan yang dianggap penting—berita, peristiwa, pemikiran—di
dunia seni rupa Indonesia
dengan objektivitas.
Kembali kepada diskusi “Kolektor
Menjadi Kurator” seperti kita ketahui bahwa ini bermula dari pameran seni rupa Beyond
Boundaries: When Collectors Curate a Show yang berlangsung di Umahseni
Gallery Jakarta ,
25 April-25 Mei ( 28 Mei ? ) 2013.
Saya menganggap kasus pameran
tersebut penting diangkat pada blog sriseutuhnya untuk dibicarakan kepada
publik, karena ( adanya ) keterlibatan langsung kolektor yang dikhawatirkan membawa
kepentingan personal. Jika kasus tersebut dibiarkan saja tanpa dikritisi dengan
seksama—maka penetrasi pasar yang telah menembus wilayah wacana atau ilmu pengetahuan
/ kedisiplinan itu akan membuat seni rupa Indonesia menjadi rimba raya tak bertuan yang dapat diklaim
oleh siapa saja, terutama oleh mereka para kapitalis, (tulisan SRI
AKANKAH DI BEBAS-LIARKAN di blog hendrotan.blogspot.com),
maka itu sama saja artinya dengan kita—sebagai ilustrasinya—membiarkan ketika
pemilik pabrik obat dan dealer berpromosi dengan klaim muluk muluk kemanjuran
obat racikan sang apoteker tanpa melewati proses standar kwalitas kontrol dan
pengujian klinis oleh badan Pengawas obat obatan dan makanan, ( didalam hal ini
diibaratkan sebagai kurator profesional dengan reputasi baiknya ). Karena itu
kalau kita mendiamkan, akibat buruknya tentu sudah dapat kita perkirakan.
Itu sebabnya saya merasa perlu
mempertanyakannya, lagi pula kasus tersebut telah menyinggung nilai-nilai terpatri
dalam infrastruktur seni rupa—yaitu integritas dan tanggung jawab profesional.
Rupanya, NILAI itulah yang menggerakkan banyak kurator, kritikus, pemilik
galeri dan kolektor kelas atas untuk terlibat dalam diskusi ini. Dari sini kita
jadi lebih mengerti bagaimana mereka menjelaskan dan memaknai kelebihan dan
kekurangan atau keunggulan dan kelemahan bukan hanya profesi tapi juga
eksistensi sosok kurator seni rupa.
Jadi, teranglah apa yang menjadi
tujuan utama digelarnya diskusi kolektor menjadi kurator ini—yaitu bukan untuk
menghakimi kasus tersebut atau memprotes pameran itu, melainkan untuk mengajak
berpikir kritis, dan cerdas semua pemangku infrastruktur di dunia seni rupa
Indonesia, sekali lagi sebagai ruang pembelajaran bersama insani senirupa
Indonesia dari yang terdidik menjadi pendidik dan sebaliknya.
Tak lupa saya menghaturkan banyak
terima kasih kepada seluruh kontributor yang telah menanggapi diskusi ini.
Dengan ini diskusi bertema
“Kolektor Menjadi Kurator” saya tutup, sampai ketemu di tema lain yang akan
datang di blog sriseutuhnya.
Salam hangat
hendrotan
Note :
Diskusi online ini akan dijilid
dengan dua macam bahasa Indonesia dan Inggris ( penerjemah :
Landung Simatupang ), selanjutnya akan disebarkan gratis ke kontributor, juga
akan dikirim kepada Team of Curators di Venice Biennale, Sao Paulo Triennale,
Documenta, MoMA Museum, Guggenheim Museum, Kunstmuseum, Tate Modern Art Museum, Singapore Art Museum, Australian
Centre for Contemporary Art (ACCA) dan Pemred Art Forum Mag.***
Aminudin TH Siregar - Ucok, Kurator seni rupa, Direktur Galeri Soemardja (10/6’13)
KESIMPULAN Diskusi bertema Kolektor
Menjadi Kurator
Yth. Pengurus dan Anggota AGSI,
Izinkan saya mengekspresikan saja
apa yang sudah berlangsung dan diperdebatkan dalam beberapa bulan terakhir
sehubungan "kolektor menjadi kurator" yang sudah diakomodasi oleh
Emmitan Gallery. Bagi saya, apa yang telah terjadi adalah suatu niatan yang
tulus untuk bersama-sama membenahi pranata seni rupa di tanahair: membangun
konsensus; etika; moral dalam berbisnis, berbudaya, dan bersosial; dan ini
semua adalah refleksi dari pekerjaan rumah kita yang begitu banyak guna
memperbaiki realitas dunia seni rupa yang sama-sama kita hadapi.
Saya pribadi ingin mengungkapkan
salut dan apresiasi tinggi untuk Emmitan Gallery yang telah mengakomodasi
diskusi tersebut. Dan saya percaya, memang sudah saatnya AGSI berperan aktif -
seperti yang telah ditunjukkan oleh Emmitan Gallery.
Dari sektor lain, kami, para
kurator, tentu memiliki agenda yang tak kalah besar untuk memikirkan bagaimana
membenahi kesemrawutan kerja profesi kurator Indonesia . Seperti yang telah lama
diwacanakan semenjak beberapa tahun terakhir, barangkali, perlu ada satu wadah untuk para kurator
ini.
Salam hangat,
Aminudin TH Siregar
Direktur Galeri Soemardja-ITB***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar